18. Someone New

57 9 13
                                    

Sangga: || Al, ibu udah nggak ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sangga:
|| Al, ibu udah nggak ada

Alamanda:
|| Sori. Gue Leo temennya Ala. Hape
Ala ketinggalan di tempat gue. Nanti
gue kabarin kalau lo ngasih kabar ke dia.

Leo? Sangga terdiam membaca balasan yang baru saja. Kira-kira lima jam setelah jasad ibunya masuk ke liang lahat. Jenazah ibu dimakamkan di desa Mbah. Sangga mau tidak mau harus ke sana. Untuk peringatan kematian ibu, ia harus diam di tempat itu dan cuti dari pekerjaan. Bagaimana bisa ia menjalani hidup lagi setelah tahu ibunya tidak ada?

Semua terasa percuma. Saat jasad ibu ditutupi tanah, Sangga merasa kakinya tidak bisa berpijak. Ia berusaha tegar, tetapi air mata tidak bisa diajak kompromi. Siapa yang bilang lelaki tidak boleh menangis? Konyol sekali. Jika kehilangan seseorang yang sangat berharga, seperti ibu misalnya, masa iya Sangga harus diam menahan tangis? Dia tetaplah seorang anak. Seorang anak yang akan merasa sangat kehilangan.

Ibunya sekarang sudah pergi. Tentu tidak akan kembali lagi. Rumah terakhir ibu sudah ada. Gundukan tanah basah di belakang halaman rumah Mbah. Bersama makam almarhum Mbah Mame—kakek. Kalau Sangga kangen ibu, paling ia hanya bisa datang ke sana. Berdoa. Mengamati gundukan tanah tersebut dengan batu nisan di atasnya.

Belum dua puluh empat jam, Sangga sudah kangen. Ia duduk termenung menatap layar ponsel. Teman-temannya datang silih berganti. Menempuh jarak jauh dari Mataram ke Kabupaten Lombok Utara. Bahkan teman-teman indekos—seperti Danny, Yosa, Juna, Harlan, Juang—bahkan tinggal di sana sampai petang. Semata untuk membantu mengurus acara zikir.

"Apa benar kamu bertemu orang baru di sana? Kenapa kamu seperti ini? Bahkan saya nggak tau kesalahan fatal apa yang saya lakukan," gumam Sangga.

Tiba-tiba Juna datang menghampirinya. "Ga, ayo! Zikir dulu sebentar."

"Jun, saya mau ke Jakarta."

Kedua mata bulat Juna melebar kaget. "Ngapain kamu ke Jakarta?"

"Saya hanya mau pergi."

Bohong kalau Juna tidak mengerti arah pikiran dan tujuan Sangga. Pergi ke Jakarta berarti menemui Ala. Sudah tentu.

"Ji? Makan dulu, dari tadi pagi kamu nggak makan. Ibu juga nggak mau melihatmu begini."

"Saya nggak lapar."

"Jangan jadi lemah begini."

Kata-kata Anggi terus berdengung dalam telinga. Enggan membuatnya kecewa, Sangga bangkit dan masuk menemui para pelayat yang datang untuk zikir di malam pertama kepergian sang ibu, untuk selamanya.

"Saya ada salah apa sama kamu, Al?" gumam Sangga sambil melempar ponsel ke meja makan. Suaranya yang keras membuat Anggi menoleh, tetapi tidak menegur. "Apa perlu saya ke sana dan membuktikannya sendiri?"

Tampaknya itu keputusan paling bodoh yang pernah ia buat. Namun, Sangga tidak akan menyesal. Paling tidak—walaupun mungkin kekecewaan yang akan diterima—dia bisa bertemu dan mendengar secara langsung alasan sikap Ala. Juga tahu bagaimana sosok bernama Leo. Jika Ala tidak bisa bersamanya, maka Sangga akan memastikan Leo sudah layak tidak menjadi penggantinya?

[²] FOOLOVE: CHERISH YOU || JUDYJUN√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang