23. Being Selfish

50 14 1
                                    

Sepanjang perjalanan pulang Ala tidak banyak bersuara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang perjalanan pulang Ala tidak banyak bersuara. Begitu pula dengan Sangga. Ala menerka-nerka, mereka tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepasang mata Ala terus menatap jalanan dari balik kaca taksi. Tanpa sedikit pun memberanikan diri melirik sang kekasih yang duduk di kanannya.

Kejadian beberapa menit lalu di kamar hotel menyiksa pikiran dan perasaan Ala. Bukan, ia tidak menyalahkan Sangga, tetapi rasa bersalah justru memukulnya telak. Pantaskah Ala berkata 'aku kecewa' di saat dirinya yang terang-terangan membuat Sangga kecewa? Di saat Sangga-lah yang jelas-jelas meminta maaf, bukan dirinya.

Namun, Ala tidak tahu mengapa dirinya bisa menjadi begitu egois. Termakan gengsi dan rasa sakit hati karena komunikasi mereka yang tidak terjalin membaik. Padahal Ala juga ikut andil dalam rusaknya komunikasi tersebut.

"Mbak, di sini?" tanya si sopir taksi membuyarkan lamunan Ala.

Ala terkesiap dan melihat ke sekeliling. Taksi sudah berada tepat di depan rumah berpagar. Ala mengangguk takzim dan segera turun, diikuti pula oleh Sangga.

Setelah taksi menjauh, keduanya kini kembali dihampiri kecanggungan. Padahal selama hampir satu tahun lebih, Ala tidak pernah merasa secanggung saat itu dengan sang kekasih. Ala merasa bersalah karena membangun rasa canggung tersebut.

"Masuklah, saya akan kembali ke hotel," tukas Sangga.

Ala mengangguk dan meraih pagar. Namun, Sangga menahan jari-jarinya yang serasa dingin. Oh! Ala sangat ingin segera pergi dari hadapan lelaki itu. Melihat wajahnya yang sarat rasa bersalah atau mendengar permintaan maaf lagi dan lagi, hanya akan menambah rasa nyeri dalam dada Ala.

"Besok bisa bicara, 'kan? Saya nggak akan lama di Jakarta," kata Sangga meminta waktu sang kekasih.

"Akan aku usahakan."

Sial! Tak seharusnya Ala menjawab demikian. Seharusnya ia bisa. Harus. Tentu saja jika ingin hubungan dengan Sangga terselamatkan. Namun, mengapa justru kalimat itu yang keluar dari bibir? Ala makin benci dengan dirinya sendiri.

"Saya cuma mau kita baik-baik saja." Sangga masih berdiri di hadapan perempuan itu setelah melepas jari-jarinya. "Al, saya akan melupakan masalah yang sudah terjadi. Saya juga yakin, kamu nggak akan sejauh itu dengan Leo. Jadi, mari kita lupakan dan kembali seperti dulu, ya?"

"Kenapa Kak Sangga terlalu yakin? Padahal Kak Sangga nggak tau sebanyak apa waktu yang udah aku habiskan di sini dengan Leo?"

"Saya tau, kamu nggak akan sejahat itu."

Ya, Tuhan! Air mata Ala rasa-rasanya ingin terjatuh deras. Rasa sakit menusuk-nusuk perasaannya lebih jahat. Mengapa Sangga bisa berpikir begitu positif? Padahal Sangga bisa saja marah dan berpikir Ala sudah mengkhianatinya. Apalagi, Sangga melihat Ala dan Leo makan malam bersama.  Andai saja lelaki lain, Ala mungkin sudah ditinggalkan. Mungkin hubungan mereka akan berakhir di depan Leo saat itu juga, andai lelaki yang Ala pacari bukan Sangga Aji.

[²] FOOLOVE: CHERISH YOU || JUDYJUN√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang