42. Segiempat: Layang-Layang

12 2 0
                                    

TXT - Deja Vu

Yang mau request silahkan...

BUAT YANG PUASA, SEMANGAT PUASANYA YA! KURANG DIKIT LAGI KOK!

JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN DAN KEBERSIHAN!

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT!

HAPPY READING!

____________________________________________________

Begitu layar persegi panjang di atas pintu menunjukkan angka empat, Mahadewa bergegas keluar dari dalam lift. Cowok itu berlari dengan terburu-buru di koridor yang terlihat sepi. Tas hitamnya tampak masih berada di punggung. Sementara kedua tangannya kini kosong. Dia telah menitipkan bekal yang dibawanya pada seseorang yang dia tahu satu kelas dengan Senja dan saudara kembarnya, Mahadewi.

Sesampainya di depan sebuah ruangan, Dewa berhenti, menormalkan sejenak nafasnya yang agak terengah. Tak lama kemudian, cowok itu mengangkat tangan kanan, mengetuk pintu yang disebut-sebut amat sakral oleh seisi SMA Segitiga, karena tak sembarang orang bisa masuk ke dalam.

“Ada apa, Mas?” pertanyaan itu menyambut kedatangan Dewa setelah pintu terbuka.

“Saya mau minta tolong, Pak,” Dewa menjawab tenang dengan sedikit panik. Tentu saja dibuat-buat.

Pria setengah baya di ambang pintu mengernyit. “Minta tolong apa Mas?”

“Tadi pagi, saya nyimpen earphone di saku jas saya. Tapi waktu mau saya ambil, earphone-nya nggak ada. Saya udah coba cari kemana-mana tapi nggak ketemu. Saya juga udah telepon ke rumah, tapi kata ART saya nggak ada. Saya boleh lihat CCTV c3, c4, dan c5? Kayaknya earphone saya hilang sebelum saya masuk lift.” Sesuai yang diharapkan dari Mahadewa Hadean Kasetra, raut wajahnya tampak begitu benar bahkan meski sedang berbohong. Kebohongan yang sebelumnya sempat dia rancang di dalam lift.

Si pengawas CCTV tak langsung percaya. Pria itu menatap Dewa dari atas sampai bawah. Tatapannya tampak fokus pada jam tangan dan sepatu Dewa yang tampak mahal. Jadi, dia berkata pada remaja itu, “Kamu kayaknya orang kaya.”

“Yang kaya orangtua saya, Pak. Bukan saya.”

“Kamu kan mau beli earphone, bukan pesawat pribadi. Masa nggak dikasih?”

Dewa menghela nafas kecil. “Earphone itu pemberian terakhir nenek saya, Pak. Cuman satu di dunia.” Lalu, batinnya berkata dengan penuh rasa bersalah, “Grandma, i'm so sorry.”

Kini giliran si pengawas CCTV yang menghela nafas. Raut wajahnya tampak menunjukkan keprihatinan, tanpa tahu bahwa remaja di depannya telah berbohong. “Ya sudah, boleh. Tapi kamu saya periksa dulu.”

Dewa mengangguk saja. Diam-diam memuji betapa ketatnya keamanan di SMAGI. Padahal dia hanya ingin melihat rekaman CCTV. Tapi cowok itu menurut saja saat tubuhnya diraba-raba untuk diperiksa. Bahkan dia berlapang dada saat ponsel, tas, dan jam tangannya diambil si pengawas.

Tapi, bukan berarti Mahadewa diperbolehkan masuk.

Ketika Dewa diminta duduk di bangku depan ruang CCTV, sementara si pengawas masuk sejenak untuk memberitahu rekannya lalu keluar lagi, dan duduk di sebelah Dewa, cowok itu tampak menghela nafas. Entah kenapa sedikit terpancing emosi.

Our TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang