***
Aran menatap langit yang tampak cerah itu dengan tatapan kosong. Pria dengan tampang urak urakan dan terkenal badboy disekolahnya itu mendesah kasar berkali kali. Akhir akhir ini suasana hatinya tidak baik dan selalu disini tempatnya dan ditemani rokok, diatap gedung sekolah itu.
Aran lagi lagi menghisap rokok itu dan menghembuskan asapnya yang membentuk lingkaran. Hingga perkataan Zean tadi pagi memenuhi pikiranya itu.
"Marsha? Benarkah lo udah kembali? Apa lo udah berubah seperti keluarga gue? Hahhhh ayah sama bunda udah berubah Sha, gue gak mau lo juga berubah" monolong Aran terlihat sendu. Sekali lagi, Aran menghisap rokok itu sebelum membuang sisanya dan menginjaknya. Lalu meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang sedikit sesak.
"ARAN!! Dari mana saja kamu?" suara nyaring yang membisingkan telinga langsung menyambut Aran yang baru datang kekelasnya. Bahkan dia masih berada didepan pintu kelasnya, namun pria itu sudah langsung merasa jengah.
"Dari kantin bu?" bohong Aran dengan datar dan santai membuat guru didepanya semakin marah melihat Aran yang tidak pernah sehari saja tidak membuat guru guru disana marah menghadapi dirinya.
"Kantin? Apa kamu gak tau ini masih jam pelajaran hah?" geram guru itu dengan wajah memerah padam.
"Saya tau"
"LALU KENAPA GAK MASUK HAH?" mendengar jawaban Aran membuat guru itu semakin murka dan meninggikan folume suaranya.
"Saya tadi lapar" masih terdengar santai membuat guru itu menarik nafasnya kasar. Dia tidak mau sampe masuk rumah sakit gara gara kelakuan murid nakal didepanya itu.
"Sekarang duduk dibangku kamu." perintahnya dengan penuh penekanan. Tanpa menjawab, Aran langsung menghampiri bangkunya mengabaikan tatapan melongo dari seisi kelas itu kepadanya.
Sesaat langkah Aran berhenti sebentar sebelum mendudukkan dirinya dibangku dia biasa duduk setelah mengontrol keterkejutanya.
"Marsha?" batin Aran dengan senyum tipis yang tidak disadari oleh siapa pun.
***
Senyum yang dari tadi terbentuk milik Marsha belum luntur sama sekali sejak kedatangan Aran diruang kelasnya, sesekali gadis itu melirik teman sebangkunya yang menatap lurus kedepan dengan datar. Dia sangat ingat dengan pria itu, pria yang dulu selalu membuatnya tertawa keras, pria yang mengisi hari harinya dengan senyuman. Marsha sudah sangat menahan dirinya untuk tidak memeluk sahabatnya itu, menyalurkan rasa rindu yang selama ini dia pendam.
Sekali lagi, Marsha melirik Aran yang menurutnya semakin tampan. Apa Zean juga sama tampanya dengan Aran? Tentu saja, Zean dan Aran memiliki wajah yang sama bukan.
Namun, ada yang salah dengan pria itu sekarang bisa Marsha lihat tatapan pria itu tidak sama dengan yang dulu lagi, pria yang selalu menatapnya dengan mata berbinar itu kini seperti, entahlah. Marsha merasa dia sedang tidak mengenal pria disampingnya yang tak lain sahabatnya itu.
Tett..tett..
Bel berbunyi pertanda sudah bisa istirahat. Seisi kelas itu langsung berhamburan keluar kelas menuju kantin.
"Marsha, ke kantin yuk." Ajak Monika gadis tomboy yang baru berkenalan dengan Marsha beberapa menit yang lalu.
"Hm? iya..." Marsha mengiyakan ajakan Monika dengan ragu. Sebelum berdiri dari duduknya, Marsha melirik Aran kembali yang hanya diam dibangkunya tanpa menyapanya.
Sebenarnya Marsha ingin sekali menyapa dan mengobrol dengan sahabat kecilnya itu namun dia terlalu ragu melihat ekspresi pria yang dari tadi terlihat dingin dan datar. Bahkan meliriknya Aran tidak pernah. Apa dia sudah lupa denganku?, batin Marsha kecewa.
Setelah kepergian Marsha dan Monika, Rio dan Devan mendekati Aran yang masih diam ditempatnya.
"Eh batu, lo masih betah disini hah? Gak berniat berdiri lo?" Devan menepuk bahu Aran pelan yang hanya mendapat lirikan malas dari pria itu.
"Lagi gak mood. Kalian duluan aja" sahut Aran.
"Lo kenapa sih?" kini Rio menimpali percakapan itu sambil menatap Aran dengan intens.
"Gue mau tidur. Mending klian kekantin aja deh" ucap Aran dengan nada mengusir.
"Gue tabok lo baru tau rasa. Dasar sahabat laknat" Rio pura pura kesal dan marah membuat Aran terkekeh pelan.
"Gue baik-baik aja jadi kalian gak perlu khawatir. Mending kalian isi dulu cacing yang sudah berdemo diperut klian tuh"
"Huft iya iya. Kita duluan ya. Inget jangan melamun entar kemasukan lo" pesan Devan sebelum melangkah keluar dari ruangan itu disusul Rio yang masih sempat mengedipkan mata sebelah kearah Aran membuat pria itu pura pura ingin muntah.
Setelah kepergian dua sahabatnya itu, ruangan itu langsung sepi. Aran menghela nafas berat kemudian menyandarkan kepalanya diatas meja didepannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Teen FictionKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...