Bab 60

216 14 0
                                    

***

Cio menatap pintu kamar putranya itu dengan ragu dan perasaan yang berkecemambuk, tangannya mulai bergerak membuka pintu itu namun urung saat ketakutan malah mengisi otaknya.

Takut saat Aran malah mengusirnya mengingat pertemuan terakhir mereka yang sangat tidak mengenakkan, takut saat dirinya hanya mendapat kekecewaan, takut saat dirinya tidak mendapat maaf dari sosok pemuda yang selama ini dia anggap bagai orang lain, takut...ya, hanya takut yang dia rasakan hingga memasuki ruangan itu rasanya sangat sulit.

Cio mendesah berat, kemudian kembali menatap nanar pintu kamar itu sebelum batinnya mengangguk pasti. Dia harus melakukannya sekarang atau dia akan benar-benar terlambat.

Saat tangannya hampir memutar kenop pintu itu, getaran ponselnya yang ada disaku celana menghentikan aksinya itu. Cio mendengus, kemudian merogoh sakunya melihat nama si pemanggil.

Tanpa pikir panjang, Cio langsung menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu ketelinganya.

"Hal..."belum sempat Cio menyelesaikan ucapannya, suara dari seberang sana berhasil membuat tubuh itu membeku.
Wajah Cio terlihat terkejut dan seperti tidak percaya dengan yang di dengarnya barusan.

"Tidak, dia tidak mungkin melakukannya. Bodoh. Jadi ini maksud mu pergi?"monolong Cio entah kepada siapa, dan dengan cepat dia langsung menjauh dari tempatnya,memasuki mobilnya dan menancapkan mobil itu ketujuannya saat ini. Dan pada akhirnya dia melupakan niatnya untuk berdamai dengan Aran.

***

Cio membuka pintu ruang rawat putra sulungnya dengan kasar sebelum menatap sendu sosok pemuda yang terlihat kaget dan penasaran entah siapa yang membuka pintu itu.
Dengan perlahan, Cio melangkahkan kakinya mendekati Riko dan langsung menerjang putranya dengan pelukan eratnya.

"Anda siapa?"tanya Riko dengan suara seraknya.

"Ini ayah nak"sahut Cio dengan suara tertahannya.
Riko tidak bicara lagi, pemuda itu membiarkan ayah biologisnya memeluk dirinya tanpa berniat mengelak atau membalasnya. Cio melepaskan pelukan itu kemudian menatap Riko dengan nanar.

"Dengar ayah nak kamu, kamu akan bisa melihat lagi"ucap Cio membuat Riko menyerit bingung.

"Maksud anda?"

"Kamu mendapat donor mata nak" sahut Cio kemudian menyeka air matanya yang tiba-tiba meluncur.

"Siapa? siapa yang donorin matanya buat Riko?"Cio tidak menyahut, tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan yang di berikan putranya.

Hening, entah kenapa kabar baik ini terasa sangat menyesakkan. Riko menggeleng, pikirannya tiba-tiba saja melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu saat pria yang di sayanginya mengucapkan salam perpisahan untuknya.

"Ayah jangan bilang kalo papa yang donorin matanya buat Riko!"lirihan Riko membuat tubuh Cio menegang. Entah karna mendengar panggilan "Ayah" dari Riko atau karna kenyataan yang di lontarkan putranya itu.

"Maaf".

***

"Sayang. Kamu nggak papa bunda tinggalin?"ucap 2 menatap wajah pucat putranya itu.

Aran tersenyum kemudian mengangguk pasti menjawab pertanyaan bundanya yang entah sudah berapa kali.

"Aran nggap papa bun, bunda pergi aja. mas Riko pasti butuh penyemangat, dan Aran mau bunda tetap disisi mas Riko. Aran akhirnya lega mas Riko bisa dapet donor mata yang cocok" ucap Aran yang di balas anggukan oleh Shani.

Hari ini Riko akan melakukan operasi untuk matanya dan Aran meminta seluruh keluarganya untuk menemani Riko dengan dirinya yang istirahat di rumah karna keadaannya yang masih belum menyakinkan itu sebabnya Shani masih ragu meninggalkan putranya itu sendiri sedangkan mertuanya juga sudah pulang untuk sementara.

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang