***
Aran duduk di sebuah kursi panjang yang tersedia ditempat itu dengan pandangan menerawang kedepan.
Dari tadi kejadian beberapa jam lalu masih terngiang di pikirannya membuat Aran merasa aneh.
Dengan di temani rokok, Aran lagi lagi menghisapnya dan menghembuskan asapnya itu dengan kasar.
Dia tidak peduli jika benda itu akan membuat sakitnya semakin bertambah, dia tidak peduli larangan om nya yang sudah dianggap sebagai seorang ayah untuknya.
Jika rokok bisa menenangkan pikirannya, kenapa dia harus menjahuinya? jika orangtuanya tidak bisa menenangkan dirinya, lalu pada siapa dia mendapat kenyamanan itu?
Aran kembali menghisapa rokok itu seperti yang dia lakukan dari satu jam yang lalu. Sekarang masih jam 5 sore,dia mungkin masih bisa menenangkan dirinya disini beberapa jam lagi."Wahhh disini sangat nyaman ya" seruan seorang gadis membuat Aran tersadar dan menoleh kearah kirinya tepat dimana sigadis berdiri dengan cengirannya.
Wanita yang sangat familiar untuknya.
"Apalagi jika bau asap rokok lenyap dari sini"lanjut gadis itu seperti menyindir dan tanpa aba aba dia langsung duduk disamping Aran.
"Ngapain lo kesini?"ketus Aran kepada gadis itu yang tak lain Marsha.
"Emang tempat ini milik nenek moyang lo?"sahut Marsha tak mau kalah.
"Lo ngikutin gue ya?"Aran masih menatap tajam Marsha.
"Lo pikir gue kurang kerjaan hah? gue itu tadi cuma lari sore. Niatnya sih mau istirahat disini, eh malah jumpa sama situan tembok" Aran mendengus mendengar jawaban Marsha itu, memang dilihat dari penampilannya, Marsha memang habis olahraga dengan keringat yang membasahi tubuhnya dan juga pakaian santainya itu.
"Emang disini ada tembok?"kata Aran kemudian menatap lurus kedepan lagi sebelum membuang rokok yang ditangannya itu.
"Nggak sadar ya?"
"Kalo mau cari ribut jangan disini, gue capek" kesal Aran karna dari tadi Marsha sepertinya terus menyindirnya.
Marsha tidak menanggapinya lagi, gadis itu sudah asik menatap langit yang sudah mulai mendung. Hingga beberapa menit kemudian, Mereka berdua hanya duduk disana dalam keheningan. Hingga Marsha mulai membuka pembahasan lain.
"Ran, Lo bisa cerita sama gue?"ucap Marsha sedikit ragu namun dengan nada serius sambil melirik Aran yang hanya diam.
"Gue nggak banyak bantu tapi setidaknya hati lo bisa sedikit lega jika sudah mengeluarkan semua yang lo pendam. Gue siap jadi pendengar yang baik buat lo Ran" lanjut Marsha kembali membuat Aran menoleh kearahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Yang ada lo akan semakin sakit jika memendamnya. Ran, gue cuma pengen seperti dulu lagi. Lo itu orang yang selalu bikin gue tertawa lepas dengan kekonyolan lo. Gue kangen semuanya Ran, gue kangen lo."lirih Marsha kemudian menundukkan kepalanya sendu.
"Gue suka sama lo Aran"dan kata itu hanya di ucapkan dalam hati Marsha.
Ya, selama ini memang, Marsha mencintai Aran dari dulu sampai sekarang. Semua yang Aran lakukan dari dulu, semua Marsha suka. Aran adalah cinta pertama Marsha, tapi dia takut, takut Aran semakin menjahuinya jika pemuda itu tau perasaannya yang sebenarnya.
Hening kembali, sedangkan Aran masih terdiam menatap lekat Marsha yang menunduk itu kemudian menghembuskan nafas berat.
"Bentar lagi hujan, mending lo pulang"ucap Aran kemudian berdiri untuk pergi dari sana, menjahui segala kata yang terlontar dari bibir gadis itu, namun langkah pria itu terhenti dan Aran membalikkan tubuhnya ke arah Marsha yang masih berdiam diri disana.
"Lo masih mau disana? ikut gue"ucap Aran dengan wajah datarnya kemudian menarik tangan Marsha membawanya dari tempat itu.
Sedangkan Marsha, gadis itu sedikit terkejut dengan perlakuan Aran namun hatinya sudah bersorak ria.
"Naik!"titah Aran membuat Marsha tersadar jika mereka sudah tiba di depan motor Aran, dan entah kapan tangannya juga sudah lepas dari gemgaman pria itu membuat Marsha sedikit kecewa.
"Lo mau nganterin gue?"tanya Marsha sedikit basa basi walau yang ada hanya terlihat konyol.
"Nggak, gue mau jual lo di pasar loak"ketus Aran kemudian memasang helmnya sendiri.
Marsha mengerucutkan bibirnya kesal dengan respon Aran. Dengan sedikit menggerutu, Marsha mulai menaiki motor Aran.
"Tunggu!"
"Apa lagi?"tanya Marsha kesal namun detik kemudian pipi gadis itu merona atas perlakuan Aran.
Bagaimana tidak, pria itu sedang memasangkan helm ke kepalanya dan dengan jarak yang terbilang dekat membuat jantung Marsha berdebar.
Marsha terus mengamati wajah pucat Aran dengan seksama kemudian tersenyum.
"Naik"kata Aran kembali setelah selesai membetulkan helm Marsha dan dengan pasrah, Marsha naik ke motor itu.
Hingga beberapa menit kemudian, Marsha dan Aran telah sampai didepan rumah gadis itu.
"Makasih ya Ran"ucap Marsha yang dibalas dengan deheman oleh Aran.
"Lo nnggak mampir dulu?"ucap Marsha.
"Makasih, tapi gue pulang aja. Udah mau hujan" sahut Aran yang terdengar ramah membuat Marsha lagi lagi mengulas senyumnya.
"Yaudah deh, hati-hati ya Ran "ucap Marsha pada akhirnya namun tidak memdapat balasan dari Aran yang hanya diam berdiri disana.
Marsha lagi lagi mendengus kesal melihat pria dingin didepannya itu dan berbalik meninggalkan Aran menuju kedalam rumahnya.
Sebelum Marsha benar benar sampai sebuah pelukan dari belakannya membuat dunia Marsha serasa berhenti.
Detak jantungnya berkali kali lipat berdetak dengan kencang dan juga wajahnya yang memanas. Namun, beberapa detik kemudian, Marsha merasakan sesak luar biasa saat merasakan bahunya itu basah.
Marsha merasakan jika Aran yang memeluknya dari belakang itu dengan wajahnya yang ditenggelamkan di bahunya itu sedang menangis dalam diam membuat dunia Marsha serasa hancur.
Marsha hendak berbalik namun Aran menahannya mungkin tidak mau dilihat oleh Marsha.
"Biarkan seperti ini dulu" kata Aran dengan suara seraknya dan nada bergetar menahan tangis.
Marsha diam, membiarkan Aran merasa ketenangan disana dan menunggu Aran yang akan membuka suaranya kembali.
"Lo bilang mau jadi pendengar buat gue kan?"tanya Aran dengan pelan, embuat Marsha mengangguk pasti tanpa membuka suaranya.
"Gue tunggu di rooftof sekolah besok" ucap Aran sebelum melepaskan pelukannya dan berlalu dari tempat itu meninggalkan Marsha yang menatap dirinya yang semakin menjauh dan tetesan air bening mengalir dipipinya.
"Gue pasti datang Ran"sahut Marsha dengan berteriak berharap Aran masih mendengar suaranya hingga senyum bahagia terukir di wajah gadis itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Ficção AdolescenteKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...