"Kalo gue minta lo kayak dulu lagi, lo mau kan?"tanya Zean dengan hati hati, Aran meliriknya sekilas kemudian mengupas buah itu kembali tanpa menyahut.
"Gue tau lo masih sama kayak dulu. Ran, gue selalu ada buat lo jadi jangan pikir lo sendiri. Lo masih mau berjuang supaya ayah dan bunda nggak benci lo lagi kan?"
"Gue udah nggak sanggup"sahut Aran kemudian memeberikan segelas air putih yang sudah tersedia disana untuk Zean yang di terima pemuda itu dengan senang hati.
"Makasih"ucap Zean setelah mengembalikan gelas itu namun tidak ada sahutan dari Aran.Pria itu sudah asik memakan buah yang di kupasnya itu tanpa membaginya untuk Zean, sedangkan yang sedang terbaring itu mendengus melihat orang aneh didepannya itu yang sialnya adik kesayangannya itu. Dia sempat berpikir jika buah yang di kupasnya itu untuknya, tapi sifat Aran memang tidak bisa di tebak.
"Mana adik gue yang optimis itu?"tanya Zean tiba tiba, Aran menatapnya dengan heran.
"Emang adek lo berapa?"
"Hahh nggak peka memang. Adek gue dulunya sangat optimis, bukan yang kayak sekarang sangat pesimis. Masih setengah berjuang, udah nyerah gitu aja"ucap Zean membuat Aran bungkam.
"Ingat Ran, kita tidak akan mendapat hasil tanpa usaha, dan hasil tidak akan pernah mengecewakan usaha. Gue yakin kalo kita tetap berusaha, maka semuanya akan kembali kek semula. Ahhh tidak, semua akan baik baik saja" lanjut Zean sembari meralat kata kembali ke semula karna dia juga tidak mau di abaikan oleh orang tuanya jika semua kembali kayak semula kan?.
"Lalu gue harus kayak gimana lagi?mereka bahkan mendorong gue terlalu kuat" lirih Aran kemudian menunduk.
"Maka gue yang akan menopang lo supaya nggak jatuh. Percaya sama gue, hmm?"Aran menatap tepat di manik legam Zean sebelum senyum tulus tercetak disana dan mengangguk pasti. Zean yang barusan melihat senyum Aran seketika memeluk adiknya itu dengan erat, senyum yang sudah lama tenggelam itu kini untuk pertama kalinya terukir untuknya.
"Makasih dek, makasih"kata Zean semakin mengeratkan pelukannya itu.
"Iya, iya. Lepasin gue atau gue berubah pikiran"ancam Aran, Zean langsung melepaskan pelukannya itu dengan wajah binarnya itu.
"Lo nggak suka di peluk?"
"Iyalah, emang gue homo?" sahut Aran bohong, sebenarnya nyeri itu muncul saat Zean memeluknya terlalu erat dan dia tidak mungkin mengatakan pada Zean, bukan?
"Ck, lo itu..."
Cklekkk
Belum sempat Zean menyelesaikan ucapannya, pintu ruang rawat Zean sudah terbuka dan menampakkan Cio dan Shani memasuki ruangan itu. Seketika si kembar terdiam dengan tubuh yang menegang.
Sedangkan Cio dan Shani menatap putra bungsunya itu dengan tatapan tajam dan marah bahkan Cio sudah siap siap akan melemparkan tamparan dan kata kata tajam untuknya namun keduanya ikut mematung setelah Aran melemparkan senyum untuk menyambut mereka.
Senyum cerah dan binar yang sudah lama menghilang itu. Dada mereka berdesir, entahlah tiba tiba ada gejolak aneh yang menggelitik hati mereka.
"Ayah, bunda"lirih Aran dengan senyum tulusnya kemudian berdiri mendekati mereka.
"Keluar!"ketus Cio sebelum Aran benar benar sampai di hadapan mereka. Aran terhenti begitu senyum nya yang memudar kemudian terukir semakin lebar. Ya, sekarang yang ada di hadapan mereka adalah Aran yang dulu. Aran yang selalu tertawa dan senyuman tulus yang membuat semua orang tidak bisa membencinya. Kini sosok itu muncul kembali di hadapan Cio dan Shani.
"Iya yah, Aran keruangan Aran dulu ya. Soalnya Aran nggak boleh berkeliaran terlalu lama, entar om Farhan mengamuk lagi hehe"canda Aran kemudian terkekeh sendiri.
"Ahhh ruang rawat Aran ada di lantai tiga no.216, ayah dan bunda boleh kok berkunjung sesekali. Aran pamit bunda, ayah, abang juga"lanjut Aran kemudian mengedipkan sebelah matanya untuk Zean yang mematung di sana dan berlalu dari ruangan itu yang meninggalkan Cio, Shani dan Zean yang terdiam disana.
Senyum terukir di bibir tipis Zean sebelum memakan buah jeruk yang tidak di habiskan oleh Aran tadi. Adiknya benar benar sudah kembali.
***
Riko dengan buru-buru mengganti semua pakaian sekolahnya dengan pakaian biasa, hari ini dia berniat untuk menjenguk Aran.
Sebelumnya, tadi pagi saat dia mendengar jika mereka terlibat kecelakaan dari mulut Aran sendiri, dia sudah berniat untuk bolos dan menjenguk sahabatnya itu tapi Aran dengan segala cara mengatakan jika dirinya baik-baik saja dan lebih baik dia datang sepulang sekolah.
Setelah mengambil kunci motornya, Riko turun kelantai bawah menuju pintu keluar rumah itu namun langkahnya berhenti saat matanya menangkap pintu kamar papanya yang terbuka sedikit.
Riko mendesah berat kemudian memandangi pintu itu dengan sendu, akhir akhir ini hubungannya sama papanya semakin renggang. Bahkan saling menyapa pun sudah tidak ada lagi.
Riko merindukan papanya yang dulu, yang menyayangi Riko melebihi dirinya sendiri, memberikan semua keinginannya, melemparkan kata kata candaan saat berkumpul bersama, tertawa bersama. Riko merindukan semuanya.
Tak ingin berlama lama larut dalam kesedihan, Riko hendak berlalu dari sana namun lagi lagi langkahnya terhenti saat bayangan ayahnya yang berada di kamar itu seperti bicara dengan seseorang.
Karna sudah terlewat penasaran, Riko perlahan mendekati kamar papanya itu kemudian membuka pintu itu semakin lebar, hingga dia bisa melihat punggung papanya yang menelepon seseorang sambil membelakangi ke arahnya.
Namun, kenyataan yang di ucapkan Roby, papanya itu membuat Riko seketika mematung dengan kepalan tangannya yang mengerat.
"Kamu yakin bukti-buktinya sudah lenyap?pastikan juga cctv disekitar lokasi kecelakaan itu lenyap"
"...."
"Baiklah, nanti sore saya akan mengirimkan bayaran untukmu. Tapi tidak sepenuhnya karna kamu gagal membuat anak itu mati. Untuk saat ini, kamu bersembunyi dulu. Saya akan mengirim alamat tempat persembunyianmu nanti."
"...."
"Ya, lain kali saya masih membutuhkanmu tapi saya harap kamu tidak gagal lagi. Aran harus mati. Mengerti?"
"...."
"Baiklah, sekarang kamu siap-siap. Anak buahku sebentar lagi akan sampai disana"
Tutt tuttt
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Teen FictionKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...