Bab 9

212 17 0
                                    

***

"Turun!" titah Aran dengan nada datar setelah tiba didepan rumah mereka. Dan dengan berat hati Zean turun dari motor Aran diikuti Aran yang sudah siap memarkirkan.

Zean langsung berdecak melihat Aran yang langsung berlalu tanpa menunggunya. Padahal dia sudah menunggunya supaya masuk bersama.

"Assalamu'alaikum!!!!"seru Zean dengan semangat menuju dapur. Sedangkan Aran sudah langsung berjalan menuju kamarnya.

Dengan langkah girang, Zean mendekati bundanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan itu.

"Wa'alaikumsalam. Kamu sudah pulang" ujar Shani yang dibalas anggukan semangat dari Zean dan kecupan dipipinya dari Zean.

"Bunda masak apa? Kenapa banyak sekali?" tanya Zean yang baru menyadari jika makanan disana terlalu banyak dan pasti akan sangat lebih jika hanya mereka yang makan.

Shani tersenyum manis kemudian mengelus pipi Zean dengan sayang.

"Sekarang kamu mandi gih. Bentar lagi keluarga Marsha bakal dateng"ucap Shani membuat mata Zean berbinar.
"Benarkah?"

"Iya. Sekarang bersiap siap saja. Ayah juga sedang siap siap dikamarnya"

"Iya bun. Zean kekamar dulu ya" kata Zean dengan girang dan segera berlalu.

Sedangkan Aran yang baru tiba dikamarnya langsung membanting pas bunga yang ada diatas nakas dengan kasar. Dada pemuda itu naik turun tidak teratur. Mengingat kejadian tadi membuat emosinya hampir meledak namun ditahannya membuat rasa sesak didadanya semakin kentara.

"Riko, apa yang ingin lo rencanakan hah?" ucapnya dengan nada emosi.

Rasa sesak itu semakin menjadi jadi hingga membuatnya semakin kepayahan untuk menarik nafasnya.
Aran berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan menarik nafas dalam namun rasa sakit itu semakin terasa hingga dia mengerang kesakitan sambil mencengkram dada kirinya.

Dengan susah payah, Aran merogoh botol berisi obat obatan yang menjadi temannya selama ini dan dan memasukkan beberapa obat itu kemulutnya dengan rakus tanpa bantuan air.

Tubuh Aran meluruh dan meringkuk dilantai dingin kamarnya itu dengan nafas terpenggal penggal.
Aran tersenyum miris melihat keadaanya saat ini dan sekelebat bayangan kejadian beberapa menit lalu memenuhi pikirannya.

"Ahh gue sahabatnya Aran. Kenalin gue Riko" suara itu masih terngiang ngiang dikepalanya hingga tanpa sadar air bening itu menetes dari mata sayunya.

"Gue harap bisa denger kalimat itu lagi dari mulut lo dengan tulus Rik" gumannya lemah sebelum mata itu tertutup sempurnah entah tidur atau pingsan tidak ada yang tau.

***

Jam menunjukkan jam 17:02 saat Marsha dan kedua orang tuanya tiba dirumah mewah keluarga sikembar.
Mereka langsung berpelukan bahagia setelah sekian lama tidak bertemu.

Shani yang memang sahabat kecil dari Rani mamanya Marsha membuat mereka terlihat seperti saudara.
Mereka duduk bersama diruang tamu sambil bercanda gurau hingga menceritakan kejadian lucu mereka dulu dan tertawa bersama.

Zean dan Marsha yang memang hanya menyimak percakapan keempat paruh bayah itu juga tertawa lepas menanggapi candaan mereka hingga kedatangan pemuda dengan wajah tirusnya menghentikan tawa mereka dan terdiam.

Hingga Rani mendekati pemuda yang tak lain Aran yang menatap mereka dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan

"Nak Aran? Bagaimana kabarmu?" ujar Rani dengan sayang yang dibalas senyum tipis dari Aran sebelum berlalu dari sana tanpa berniat membalas sapaan Rani.

Semua terdiam melihat tingkah Aran terutama keluarga Marsha yang terkejut dengan reaksi Aran.

Sedangkan Shani dan Cio berusaha menahan amarah supaya tidak meledak akan sifat memalukan putra bungsu mereka dengan senyum paksaan mereka langsung memberi penjelasan yang tentu kebohongan untuk membuat keluarga Marsha tidak terlalu memikirkannya dan memasukkkannya kedalam hati.

Dalam hati mereka sudah mengumpat darah daging mereka sendiri.

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang