***
Aran melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata rata dengan jalan raya yang tidak terlalu ramai itu dengan wajah yang mengeras.
Tanggannya mencekram kuat setir itu melampiaskan kekesalannya barusan.
Dia melihatnya, dia melihat wajah berbinar bundanya memeluk Zean saudara kembaranya. Dia juga melihat senyum manis keibuan itu mengarah ke Marsha dan dia melihat wajah kesal ibunya saat mendengar namanya disebut oleh Marsha.
Walau sudah terbiasa melihat adegan seperti itu namun hatinya masih terlalu perih melihatnya.
Dia selalu berharap wajah bundanya berbinar jika namanya disebut dihadapannya namun, sampai waktunya berhenti pun harapan itu tidak akan pernah ada.
Aran menghentikan laju mobilnya tepat didepan bangunan atau sering disebut basecamp mereka dengan kedua sahabatnya sering berkumpul bersama.
Setelah membuka pintu ruangan itu, langsung terdengar suara ribut dari dalam yang tak lain Devan dan Rio.
"Eh lo dah dateng?" tanya Rio setengah melirik kantong kresek yang dibawa oleh Aren.
"Whiskey lagi?" lanjut Rio yang sudah dapat menebak benda didalam kantong yang dibawa Aran.
Sedangkan Aran hanya langsung melengos masuk dan duduk disofa empuk yang tersedia disana dengan santai.
"Hei bro, akhir akhir ini lo terlalu murung dan makin pendiam deh. lo ada masalah?" ucap Devan yang duduk disamping Aran sambil memperhatikan pria yang mulai membuka botol alkohol itu dan meminumnya dengan santai tanpa menjawab pertanyaan dari sahabat sahabatnya itu.
"Kebiasaan memang kalau ditanya cuma dicuekin" gerutu Rio yang juga meminum whiskey itu dengan cepat.
"Hahh gue lelah" desah Aran dengan berat membuat kedua pria didekatnya menatap Aran dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maksud lo Ran?" tanya Rio yang tidak mengerti.
"Gue pengen nyerah aja" lirih Aran dengan sendu kemudian tersenyum miris.
"Ran, lo bisa cerita ke kita masalah lo. Kita udah hampir dua tahun bersama tapi lo bahkan tidak pernah berbagi masalah lo sendiri. Apa lo belum menganggap kita sebagai sahabat lo?" ucap Devan dengan kesal dan kecewa melihat temannya itu selalu memendam masalahnya. Padahal jika dirinya dan Rio ada masalah, Aran selalu turut membantu mereka lalu kenapa mereka juga tidak bisa membantu Aran? Apa dia belum percaya dengan kita?. Batin Devan.
"Gue belum siap Dev" Aran menundukkan kepalanya membuat Rio dan Devan menghela nafas berat.
"Kita bakal tunggu lo sampe siap bagi masalah lo Ran. Kapan pun lo butuh kita, kita bakal siap bantu lo" ujar Rio sambil menepuk bahu rapuh itu dengan lembut. Dia tau saat ini Aran butuh waktu dan dia tidak ingin memaksa sahabatnya itu yang bisa saja nantinya semakin tertekan.
Aran menganggkat kepalanya kembali kemudian tersenyum tulus kearah mereka.
"Terima kasih karna kalian masih bertahan disisi gue. Hanya tetap disisi gue aja gue udah cukup bersyukur"
***
Jam menunjukkan pukul 23:49 Aran baru memasuki rumah mewah keluarga mereka itu dengan langka gontai. Gelap, sunyi adalah keadaan yang menyambut Aran dirumah itu. Dia yakin seluruh penghuni rumah itu sudah memasuki alam mimpinya.
Dengan ragu, Aran melangkahkan kakinya menuju kamar yang ada di lantai dua. Namun, baru tangga ketiga kakinya melangkah, lampu tiba tiba menyalah membuat Aran terkejut.
Aran mengelus dadanya pelan akibat keterkejutannya hingga sekarang jantungnya seperti kembali bermasalah.
Setelah mulai tenang, Aran berbalik kebelakang dengan wajah datar dan dingin dan tepat diruang keluarga itu, seorang pria paruh baya menatap Aran dengan tatapan tajam dan rahang mengeras.Siapa saja yang melihat pria itu pasti akan menunduk takut. Namun, itu tidak berlaku untuk Aran yang memang sudah terbiasa melihatnya yang tak lain adalah ayahnya Cio.
Dengan langkah tegapnya, Cio mendekati Aran dengan masih tatapan tajam dan rahang mengerasnya."Dari mana saja kamu? Apa kamu tidak bisa sekali saja tidak membuat masalah?" bentak Cio dengan suara berat nya.
Aran berdecih pelan sebelum menatap ayahnya itu tepat di manik tajam itu."Aran memang selalu salah di mata ayah jadi apa salahnya jika saya membuat masalah saja?" ucap Aran dengan suara dinginnya.
"Kamu masih untung saya tampung disini seharusnya kamu tau diri sialan!!!"
Jlebb...
Lagi lagi ucapan yang menyakitkan yang selalu Aran dengar membuatnya kembali terjatuh ke jurang tak berdasar.
Dengan susah payah Aran menahan air mata yang hampir saja keluar dengan tersenyum miris, Aran mendekatkan jarak diantara mereka."Jadi ayah menyesal dengan keberadaan Aran?" ucap Aran dengan suara tercekat.
"Benar" sahut Cio dengan tegas. Namun maniknya menatap ke arah lain menghindari tatapan sendu Aran.
"Kalau begitu, kenapa ayah masih membiarkan Aran hidup? Kenapa tidak membunuh Aran saja?"
"Karna saya bukan dirimu yang dengan mudahnya ingin membunuh keluarganya sendiri" Aran memejamkan matanya saat Cio kembali mengungkit masa lalu itu.
"Aran tidak pernah membunuh jadi tolong jaga ucapan anda yang kurang sopan ini-"
Plakk
Ucapan Aran terhenti dengan tubuh menegang saat merasakan sapaan tangan ayahnya tepat dipipinya. Aran bergeming hingga suara Cio membuatnya kembali menoleh kedepan tepat ayahnya.
"Seharusnya kau tidak kembali lagi kesini. Kau pembawa sial di rumah ini" Cio langsung melangkah setelah mengucapkan kata kata manis itu dengan tajam.
Aran tertawa miris kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar yang sunyi itu. Menghabiskan malamnya dengan kesakitan yang tak dapat terobati lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Teen FictionKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...