***
Aran memasuki pekarangan rumahnya itu dengan pakaian yang sudah basah kunyup. Ditengah perjalanan tadi,hl hujan sudah turun namun Aran enggan untuk berhenti dan mencari perlindungan untuknya.
Dan sekarang, tubuh pria itu sudah menggigil dan wajahnya semakin pucat.
Jam masih menunjukkan 16:12, biasanya Aran belum pulang jam sekarang, namun tubuhnya yang daritadi berontak ingin istirahat membuat Aran langsung menuju rumahnya itu dan berharap bisa istirahat dengan tenang dikamarnya itu.
Setelah turun dari motornya, Aran segera masuk kedalam yang diyakini jika keluarganya sekarang sudah berkumpul disana.
Dan benar dugaan Aran, kedua orangtuanya dan saudara kembarnya itu sedang asik diruang tengah ditemani dengan teh hangat didepan masing masing.
Awalnya, senyum bahagia tercetak diwajah kedua orang tuanya itu kini langsung luntur setelah melihat kedatangan Aran membuat Aran merasakan sesak yang tiap detik mengganggunya itu. Kedatangannya memang tidak pernah diharapkan.
Aran langsung berlalu dari sana hendak menuju kamarnya yang ada dilantai dua dengan menyeret tubuhnya yang semakin lemah. Namun, suara tegas Cio membuat langkah Aran terhenti dengan tubuh yang menengang.
"Temui saya diruang kerja sekarang" tegas Cio dengan suara dinginnya.
"Aran"
"Tidak ada penolakan" potong Cio membuat Aran menghela nafas pasrah.
"Tapi yah, biarkan Aran ganti baju dulu. Dia pasti kedinginan sekarang" kini Zean buka suara dengan wajah khawatirnya melihat wajah pucat Aran.
"Saya tidak peduli. Ayo ikut saya"dapat Aran tebak jika sekarang ayahnya itu sedang dilanda emosi dilihat dari raut muka Cio yang seperti menggelap.
Dengan langkah pelan, Aran berjalan ke arah ruang kerja ayahnya itu sebelum melirik Zean yang menatapnya dengan khawatir dan sang bunda dengan santainya sedang menonton tv mengabaikan putranya sendiri yang sedang tidak baik baik saja.
Hingga kini, Aran dan Cio sudah tinggal berdua di ruangan itu dengan dingin yang berkali kali lipat Aran rasakan saat melihat pancaran yang di berikan oleh ayahnya itu.
"Ada apa yah?"tanya Aran dengan berusaha tenang walau tubuhnya sudah terasa remuk luar biasa.
"Kau, apa yang kau lakukan hah? kamu berniat menghancurkan keluarga saya?"pertanyaan tajam nan menusuk itu langsung dilontarkan Cio membuat Aran bingung harus memberi reaksi seperti apa.
"apa Aran tidak termasuk dalam keluarga ini lagi?" batin Aran miris.
"Apa maksud ayah?"
"Jangan pura-pura bodoh sialan. Sekarang katakan dimana kertas itu"bentak Cio emosi membuat Aran mengerti sekarang ini mungkin tentang kertas yang syukurnya sudah hancur itu.
"Kau pikir kau siapa hah? beraninya kau menghianatiku"
"Maaf "hanya kata itu yang keluar dari bibir pucat Aran membuat Cio semakin murka. Dengan kasar Cio langsung menghadiahinya dengan tamparan yang keras membuat tubuh itu langsung tersungkur ke lantai itu.
"SEKARANG KATAKAN DIMANA KERTAS ITU!!!"suara Cio semakin meninggi dengan emosinya juga yang semakin memuncak membuat Aran sedikit takut.
"Kertas itu sudah hancur."sahut Aran sambil menahan suara ringisan dari mulutnya itu.
"Jangan banyak alasan kamu. Cepat berikan sebelum saya benar benar melenyapkanmu sekarang juga"ucapnya masih dengan emosi sambil memaksa Aran untuk berdiri.
"Katakan kertas apa yang kau kasih itu" kata Cio dengan tatapan tajamnya itu lagi lagi berhasil merobohkan pertahanan Aran.
"Itu, pembatalan kontrak kerja yah'lirih Aran yang langsung menambah amarah Cio.
PLAKKK
kini kedua pipi Aran sudah memerah akibat tamparan Cio dan akhirnya suara ringisan Aran langsung menggema diruangan kedap suara itu.
"Ahk" ingis Aran mencengkram dadanya yang juga ikut menyiksa fisiknya itu, membuat Cio yang melihat Aran kesakitan langsung terdiam.
Tidak, Aran tidak boleh lemah. Dia tidak mau mendapat tatapan iba dari siapapun. Dengan kesadaran yang di ujung tanduk, Aran berusaha bersikap normal kembali.
"Kertas itu sudah hancur yah, jadi tidak perlu khawatir dengan perusahaan yang ayah bangga banggakan itu. Tapi, setelah ini tolong jaga putra ayah" lirih Aran sebelum berlalu dari sana meninggalkan Cio yang masih terdiam mencerna ucapan Aran.
"Anaknya? Zean? atau Aran? tapi kenapa? ahkkkk tidak usah dipikirkan ucapan anak itu" batin Cio berusaha sadar atas keterpakuaannya itu dan langsung melenggang pergi dari sana menuju ruang makan yang mungkin sudah disediakan disana untuk makan malam.
Sedangkan Aran, dengan nafas yang terpenggal penggal Aran berusaha menjauh dari rumah itu. Dengan ditemani derasnya hujan yang menirpa tubuh ringkihnya itu.
Brakkkkk
Tubuh Aran sudah tersungkur ketanah yang becek karna hujan itu namun kesadaraanya masih ada dan dengan susah payah, Aran meraih ponselnya dan menelepon seseorang.
"Om, help me"dan setelah lirihan itu,kegelapan langsung menyelimuti Aran tidak terusik akan suara yang memanggilnya dengan panik dari ponsel Aran.
"Seperti biasa, biarkan saya membuka mata ini untuk besok. Setidaknya sebelum aku merasakan kasih sayang ayah bunda lagi walau hanya sedetik"
***
Zean mengetuk pintu kamar Aran beberapa kali namun tidak ada sahutan sama sekali membuat Zean sedikit khawatir. Dengan ragu, Zean membuka kamar itu berharap jika adiknya itu sedang tertidur disana namun nihil, Aran tidak ada.
Zean mendesah pelan, sebelum turun kelantai bawah dan mendekati Cio yang duduk diruang tengah sambil membaca koran.
"Ayah, Aran mana?"tanya Zean langsung membuat Cio menatap Zean dengan jengah.
"Kenapa nanyain anak itu? Dia pasti sedang keluar membuat masalah sekarang. Nongkrong dengan teman berandalnya itu" sahut Cio dengan malas.
"Sejak kapan? Zean tidak melihatnya keluar tadi. Dikamarnya juga tidak-" Zean terdiam sebentar, kemudian menatap ayahnya itu dengan tatapan menyelidik.
"Apa yang ayah lakukan sama Aran lagi?"tanya Zean setelah berpikir jika setelah pertemuan mereka diruang kerja Cio tadi, Aran langsung keluar dari rumah. Berarti Aran dan Cio bertengkar lagi.
"Zean cukup, ayah lagi tidak mau membahasnya. Dia selalu membuat saya pusing"kata Cio dengan kesal dan menatap tajam Zean.
"Terserah ayah!!!"kesal Zean kemudian berlalu dari sana.
Berkali kali Zean menghubungi ponsel Aran namun belum juga mendapat jawaban dari si empunya membuat Zean semakin khawatir."Semoga semua baik baik saja" batin Zean namun entah kenapa dia dirudung gelisah saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Teen FictionKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...