Bab 39

156 13 0
                                    

***

Langkah Zean terhenti saat melihat gadis yang di kenalnya itu mendekat kearahnya di lorong sekolah itu. Senyum Zean merekah, semakin lebar tak kala gadis itu tiba di depannya, menatapnya dengan wajah cemas gadis itu membuat Zean merasa senang.

"Zean? lo nggak papa?"tanya Marsha cemas.

"Mmm gue nggak papa"sahut Zean pelan.

"Tadi lo beneran pingsan? terus Aran mana? tadi dia bilang bakal bawa lo ke uks tapi nggak ada"ucap Marsha, sedangkan Zean hanya tersenyum.

"Gue mau ngomong ama lo sebentar, boleh?"tanya Zean membuat Marsha mendengus kesal.

"Gue tanya Aran mana?"ulang Marsha karna pertanyaannya tadi belum di jawab.

"Aran? dia masih di aula. Kita ke taman sebentar ya"lagi, Zean mengajak Marsha untuk mengobrol berdua, gadis itu hanya mengangguk pasrah.

Setelah mereka sampai di tempat tujuan mereka langsung duduk di kursi panjang itu.

"Lo mau ngomong apa? cepetan, lima menit lagi bakal bel masuk lho"kata Marsha langsung sedangkan Zean masih fokus untuk menenangkan dirinya sendiri kemudian menatap wajah gadis di sampingnya itu.

Sekarang kesempatan yang pas untuknya.

"Mmmm gue, gue, suka sama lo"ucap Zean dengan cepat membuat Marsha menyeritkan alisnya heran kemudian tertawa lepas.

"Hahaha gue juga Zee hahahah"canda Marsha sambil tertawa sendiri.

"Gue serius Sha"ucap Zean dengan nada serius membuat Marsha terdiam dan menatap pemuda itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Sejak dulu gue udah suka sama lo tapi gue nggak berani mengatakan yang sejujurnya"kata Zean dengan tulus.

"Zee"

"Apa lo punya perasaan yang sama ke gue?"

"A-aku..."

"Hmm?"Marsha menunduk, entah kenapa dia sangat bingung untuk menjawab pertanyaan yang di lempar Zean.

Hatinya ingin menolak dan mengatakan jika dia menyukai Aran, saudara pemuda di depannya itu, namun hati lainnya menolak, tidak tega melihat wajah kecewa Zean, yang hanya dia anggap sebagai sahabatnya itu.

Dan juga, Aran tidak menyukai dirinya kan? Lalu apa dia masih berharap dengan pria itu? 

Marsha mengerti bagaimana sakitnya mencintai orang yang tidak mencintainya dan dia sangat tidak tega jika melihat sahabatnya itu juga terluka.

Setelah terdiam beberapa saat, Marsha mengangkat kepalanya menatap wajah Zean kemudian mengukir senyum tulusnya sebelum mengatakan keputusan darinya.

***

"Lo abangnya?"pekik kedua mahluk itu dengan wajah terkejut menatap dua orang lainnya yang baru saja mengatakan hubungan mereka.

"Sahabat"elak pemuda yang di tanya membuat yang disampingnya itu mendengus.

"Tapi udah kayak abangnya sendiri"sahut pemuda yang satu itu lagi membuat mahluk itu memutar matanya malas, bingung akan jawaban kedua pemuda itu.

"Nama gue Riko"lanjut pemuda itu lagi yang ternyata Riko.

"Mmm gue Devan, ini adek gue Rio"sahut Devan memperkenalkan diri kepada Riko. Sedangkan Rio mendelik kesal menatap Devan yang memasang wajah santainya. Si Devan memang selalu sok tua.

Sekarang posisi mereka berada di apartemen milik Devan setelah pulang sekolah, mereka berkumpul disana. Aran juga mengajak Riko kesana untuk memperkenalkan mereka semua.

"Sejak kapan lo kenal Aran?"tanya Rio menatap Riko.

"Udah tujuh tahun sih" sahut Riko.

Devan dan Rio mengangguk mengerti kemudian menatap Aran yang hanya diam dan Riko secara bergantian.

"Wajah kalian ada miripnya ya.apa jangan-jangan kalian itu saudara kandung?"tanya Devan membuat Aran mendelik tidak terima.

"Gue ganteng, masa disamain sama dia?"protes Aran langsung.

"Gantengan gue kali" kata Riko dengan pedenya. Lagi lagi Devan memutar matanya malas melihat tingkah kedua orang itu.

Devan dan Rio kembali bertanya tentang hal lainnya membuat mereka semakin cepat kompak dan tak terasa mereka sudah menghabiskan beberapa jam disana untuk mengobrol dan bercanda.

Ya, mereka merasa sangat cocok menjadi teman.

"Ran, udah sore nih. Lo nggak pulang?"tanya Riko tiba-tiba, Aran melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan ke arah 17:03.

"Yaudah, kita pamit dulu ya"sahut Aran kemudian berdiri.

"Hmm kalian hati-hati"kata Devan kemudian saling bertos berpisah dan kembali kerumah masing-masing.

"Ran, lo gue anter"kata Riko yang sudah menaiki motornya itu.

"Nggak usah, gue naik taksi aja. Gue lagi nggak enak badan nih, entar masuk angin lagi kalo naik motor"tolak Aran dengan halus, Riko mengangguk mengerti.

"Ya udah gue duluan. hati-hati Ran"kata Riko sebelum menyalakan motornya dan berlalu dari sana.

Aran mendesah pelan kemudian menatap sekeliling tempat itu berharap dia langsung mendapat taksi.

Lalu dimana mobil Aran? sepulang sekolah, Aran menebeng sama Devan dengan alasan dia sedang malas menyetir dan mobilnya dia tinggalkan begitu saja di sekolah itu.

Ya karna penjagaan disana sangat aman jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan mobil itu.

Lima menit Aran berdiri di pinggir jalan itu, tapi yang di tunggu pun belum ada hingga akhirnya dia berjalan ke halte bus yang tak jauh dari sana namun mampu menguras tenaga Aran.

Aran mendudukkan dirinya di bangku itu seraya mengurut dada kirinya yang berdenyut nyeri. Setelah beberapa saat, sebuah bus sudah datang dan dengan sisa tenaganya, dia mendekati bus itu dan menaikinya.

Dan bus itupun berjalan dan berhenti di halte bus yang lumayan jauh dari sebuah bangunan yang akan di tuju oleh pemuda itu.

Setelah turun di halte pemberhentian itu, Aran langsung memasuki taksi yang kebetulan lewat disana. Dan beberapa menit kemudian, Aran sudah tiba didepan bangunan tinggi dan besar itu, tempat yang sudah biasa dia injak, rumah sakit milik om nya.

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang