Bab 62

231 15 0
                                    

***

Aran menengadah ke atas, menutup matanya menikmati sinar matahari sore yang menimpa wajah pucatnya itu dengan senyum tipisnya.

Beberapa menit lagi. Saudaranya itu akan berjuang di meja operasi membuat dirinya semakin gugup, padahal bukan dirinya yang menjalani. Aran mendesah, membuka matanya kasar sebelum membuka ponselnya membaca pesan dari sang bunda.

Gimana kabar adek? kamu nggak papa kan sayang? udah makan? udah minum obatnya?

Aran tersenyum, bundanya itu terlalu overprotektif padanya namun entah kenapa dia sangat menyukainya. Menyukai kasih sayang bunda yang selama ini dirindukannya.

Dengan lincah, jemarinya mulai menari di layar ponsel membalaa chat dari bundanya.

Udah bunda, Ara  sehat nih. Oh ya gimana disana Bun? mas Riko gimana?

Rikonya baru di bawa masuk keruang operasi. Kita doain aja semoga nak Riko selamat dan sehat kembali.

Aminnn. Makasih ya bun, buat semuanya. Aran berharap bunda selalu di berikan kebahagiaan. Aran sayang bunda.

Perasaan hari ini bukan ulang tahun bunda deh.

Hehehe kan doanya nggak harus di ulang tahun bunda.

Iyain aja deh adek lagi ngapain sih? lama banget balesnya"

Read

Aran tidak membalasnya lagi, pemuda itu sudah sibuk dengan rasa sakit yang dia tahan dari tadi.

Mencengkram erat dadanya itu seraya membuka mulutnya mencari pasokan oksigen yang semakin menipis untuknya.
Sedangkan ponsel yang dia pegang dari tadi sudah tergeletak di lantai rumah belakang itu.

Dengan langkah gontai, dia mulai meninggalkan tempat itu dan berharap masih memiliki tenaga untuk kekamarnya untuk meminum pil pahit miliknya.

"Arrghh"teriaknya kesakitan karna rasa sakitnya semakin berkali lipat bertambah ditamba lagi kepalanya pusing dan matanya yang memberat.

Bahkan setiap tarikan nafasnya terasa menyakitkan.
Tubuh itu limbung seketika dan tersungkur begitu saja yang memunculkan detuman yang cukup keras disana.
Sunyi.

Tidak ada lagi ringisan kesakitan dari pemuda itu begitupun deru nafas pemuda itu lenyap tiba-tiba, tubuhnya sudah tergeletak begitu saja dengan sinar matahari sore yang mungkin menjelang malam menyinari wajah pucat itu.

Dadanya masih terlihat naik turun dengan lambat hingga cairan merah pekat yang mengalir dari kepala membasahi lantai berbatu itu semakin terlihat banyak begitupun dengan wajah Aran yang semakin memutih hingga terlihat seperti kehabisan darah.

Hingga beberapa menit kemudian, semuanya masih tetap sama. Tidak ada yang datang untuk merengkuh tubuh itu, tidak ada yang menghentikan darah yang terus keluar dari celah rambutnya dengan turunnya hujan yang turut merasakan kesakitan pemuda itu.

***

Tok tokk tokk!

"Aran!!!!ini ayah nak. Buka pintunya!"ucap Cio yang dari tadi mengetuk pintu itu namun tidak ada sahutan dari Aran membuat Cio mendesah miris. Mungkin putranya itu masih butuh waktu untuk berhadapan dengannya.

Dirinya kembali menatap sendu pintu itu kemudian melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya. Melepaskan jaketnya yang sedikit basah karna hujan di luar yang sedikit mengguyur tubuhnya itu.

Cio merebahkan tubuhnya di kursi disana kemudian menghembuskan nafasnya dengan berat sebelum matanya menangkap selembar amplop putih yang memang seminggu ini sudah tersimpan disana. Hanya saja dia tidak pernah membuka amplop itu saking sibuknya dengan masalah yang menimpanya itu.

Dengan bermodal penasaran, tanngannya mulai membuka amplop itu kemudian menyerit melihat selembar kertas disana.

Hingga dia merasakan dadanya yang bergetar dan sesak secara bersamaan setelah membaca isi surat yang ditujukan untuk dirinya.

Matanya sudah memerah menahan lelehan itu hingga dengan perasaan hancur dan menyesal dia segera keluar dari ruangan itu dan berlari mencari putranya yang selama ini disakitinya.

"maafin ayah. Maaf, ayah janji keinginan adek bakal terkabul"batin Cio dan segera membuka pintu kamar putranya dengan kasar dan bodohnya dia tidak menyadari jika pintunya tidak tertutup.

"Aran??? Adekk? "panggil Cio dengan suara bergetarnya. Dirinya semakin gelagaban saat putranya tidak ada diruangan itu.

Dia kembali mencari di sekeliling rumah namun juga tidak menemukan sosok malaikat kecilnya.

Langkahnya terhenti saat melihat pintu rumah belakang terbuka, dengan harap dia segera menuju rumah belakang milik mereka dan lagi-lagi tuhan Menghukumnya sangat tidak adil.

Aran, putra bungsunya sudah tergeletak di lantai rumah itu dengan air hujan yang sudah ternodai oleh darah yang menggenang disana, air matanya yang dia tahan akhirnya meluncur juga.

"Tidak, jangan bilang ayah terlambat. Adek!!!! Buka matamu ayah mohon, ini ayah hikss" isaknya seraya merengkuh tubuh dingin nan tak berdaya itu dengan erat, menepuk-nepuk pipinya berharap jika dia masih bisa melihat mata milik putranya terbuka. Dia tidak peduli pada hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.

"kamu bisa dengar ayah? sayang, buka matamu, ayah datang memelukmu. Jangan hukum ayah gini, maafkan ayahmu ini. Bilang sama ayah jika adek hanya bercanda. Buka mata mu dek, ayah kangen adek ayah mohon hiksss ayah janji kita semua akan bahagia, ayah tidak akan memarahi adek lagi, ayah tidak akan membenci adek lagi, ayah tidak akan menyakiti adek lagi, ayah, ayah hikss ayah minta maaf"racaunya kembali seraya membenamkan kepala putranya pada dada bidangnya itu dan menangis dalam kehancuran.

"bertahan nak" ujarnya sebelum mengangkat tubuh pucat itu dan membawanya kedalam mobil dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang