Bab 32

171 13 1
                                    

Panggilan dimatikan oleh Roby, sebelum mendesah kasar dan meletakkan ponsel itu di meja nakas sebelum tubuh itu menengang saat menangkap sosok putranya yang berdiri di pintu kamarnya itu.

Roby dapat merasakan tatapan Riko mengarah tajam padanya bercampur dengan rasa marah dan kecewa. Riko pasti sudah mendengar semuanya, batin Roby yang mulai was was.

"Kenapa kamu disana?"tanya Roby berusaha setenang mungkin, menunggu Riko yang mendekatinya dengan tatapan kosong anak itu.

"Papa dalang dari kecelakaan Aran dan Zean?"tanya Riko dengan nada yang bergetar.

"Kamu pasti sudah ngerti kalo aku melakukannya."

"Papa berniat membunuh Aran?"kini tatapan Riko menajam seiring dengan rahangnya yang mengeras.

"Bahkan dari dulu saya ingin melakukannya"sahut Roby dengan santai.

"Kenapa pa? jadi papa milih jadi seorang buronan dari pada Riko, anak papa sendiri?"

"Jangan pernah melakukan hal yang macam-macam candra" gertak Roby membuat Riko terkekeh meremehkan.

"Aku nggak peduli lagi dengan status kita orang tua dan anak, secepatnya Riko bakal pastiin polisi menghakimi papa"ucap Riko dengan penekanan kemudian berlalu dari sana meninggalkan Roby yang terlihat frustasi.

"Kamu nggak ngerti nak, papa cuma membuat keadilan meski dengan cara seperti ini"batin Roby dengan dada yang menyesak.

***

Kini diruang rawat Aran, sudah ada Rio dan Devan yang duduk di sofa itu sejak satu jam yang lalu untuk menjenguknya.

Rio, setelah dari tadi mengoceh tidak jelas kini sudah asik memakan makanan ringan yang di bawanya tadi sambil menonton tv. Ruangan Aran memang ruang rawat vip jadi disana sudah terbilang lengkap membuat kedua sahabatnya itu bebas.

"Ran, lo mau ngapain?"tanya Devan melihat Aran yang berdiri dari ranjangnya.

"Ya duduk di situ, bosan gue baring mulu. Kek nggak punya tulang aja"sahut Aran kemudian duduk di sofa itu membuat Devan mendengus.

"Lo kapan keluar dari sini?"tanya Rio melirik Aran sekilas.

"Entah"

"Aran, lo tau nggak?"

"Nggak"sahut Aran membuat Rio menatapnya dengan tajam sedangkan Aran meyengir.

"Belum siap nih ngomonya udah main sahut-sahutan"gerutu Rio.

"Itu, si Marsha dari tadi galau mulu. Dia bilang mau jenguk lo, tapi dia keliatan ragu. Lo ada masalah sama anak orang itu?"lanjut Rio membuat Aran terdiam.

"Dia ada disini"kata Rio lagi.

"Disini?"

"Di ruangan Zean"

"Ohhh"Aean mendesah kemudian memijat pelipisnya yang sedikit pusing itu.

"Lo nggak papa?"

"Hmm"

"Ran, lo sakit apa? Marsha bilang lo punya botol obat, trus lo kesakitan gitu. Lo belum mau jujur sama kita?"tanya Devan, sedangkan Aran hanya membisu di tempatnya tidak berniat menjawab. Dalam hatinya dia sudah mengumpat kesal terhadap gadis bermulut ember itu.

"Iya Ran, kita itu khawatir sama lo. Kenapa lo nggak mau terbuka sama kita? apa lo belum percaya kita?"kini r6io yang melontarkan pertanyaan.

"Ok, gue akan bilang yang sebenarnya. Tapi kalian janji nggak akan bilang sama orang lain khususnya orang terdekat gue, ok?"kedua sahabat Aran terlihat mendengus kemudian mengangguk pasrah.

"Sebenarnya hubungan gue sama bokap nyokap nggak baik"ucap Aran membuat keduanya memutar matanya dengan malas.

"Dari dulu kita udah tau. Yang kita tanya, lo sakit apa?"kata Devan kemudian menatap Aran dengan intens.

"Mmmm gue, gue cuman punya kelainan jantung"sahut Aran terlihat santai, sedangkan Rio dan Devan sudah menatapnya dengan tatapan kecewa, tidak percaya dan iba.

"Lo canda kan Ran?"ucap Rio berusaha tenang, menunggu jawaban Aran mengatakan jika yang di katakan pemuda itu hanya candaan.

"Gue serius"

"Dan lo bilang cuman kelainan jantung? ini yang lo bilang serius? lo pikir itu cuma di kasih obat terus sembuh?"ucap Rio dengan emosi dan wajahnya yang memerah padam menatap Aran dengan tajam.

"Rio, lo tenang dulu, ok?"Devan berusaha membujuk Rio untuk tenang, namun usahanya membuat Rio semakin murka.

"Tenang? LO PIKIR INI MASALAH SEPELE HAH? DIA SAKIT TAPI NGGAK KASIH TAU KITA DEVAN!."bentak Rio dengan emosi.

"Lo pikir dengan marah-marah, semua bakal baik-baik aja? jangan bodoh rio, lo kayak gini cuma nambah masalah. Aran pasti punya alasan nutupin ini pada kita. Lagi pula semua orang ada privasinya bukan?"ucap Devan berusaha tidak terpancing emosi.

Rio mendesah kasar kemudian mengacak surainya itu dengan frustasi sebelum melirik Aran yang diam menunduk itu. Kemudian menarik nafasnya dalam berusaha tenang. Devan benar, seharusnya dia tidak marah marah yang akan membuat situasi semakin buruk.

Setelah terdiam beberapa saat, Rio kembali membuka suaranya.

"Sejak kapan?"tanya Rio kemudian dengan lirih.
Aran menatap mereka dengan perasaan bersalah kemudian menunduk lagi.

"Kurang lebih satu tahun" lirih Aran membuat Rio semakin mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Bagus, sepertinya lo bisa bertahan tanpa kita. Mungkin selamanya lo masih bisa bertahan tanpa kita. Lo nggak butuh kita kan? kalo gitu gue pergi"ujar Rio dengan tenang dan meninggalkan ruangan itu.

Dia kecewa, sangat. Rio merasa tidak di butuhkan sebagai sahabat Aran, lalu untuk apa dia bertahan disisi Aran jika hanya di gunakan sebagai pajangan?

"Rio, lo denger dulu penjelasan gue. Gue minta maaf. Gue nggak maksud nutup..."

"Udah Ran, lo disini aja. Biarin Rio tenang dulu"potong Devan saat Aran berusaha mengejar Rio yang sudah menghilang dari ruangan itu.

Aran mendesah pasrah kemudian menatap Devan dengan merasah bersalah.

"Maaf"

"Nggak papa. Gue ngerti. Sejujurnya gue sama kecewanya dengan Rio tapi gue tau lo juga butuh privasi. Omongan Rio barusan nggak usah di pikirin, Lo tau dia kalo marah kan? nantinya dia pasti balik lagi kek dulu"ujar Devan kemudian menepuk bahu Aran dengan pelan.

"Sekarang lo istirahat gih muka lo masih pucat"ucap Devan yang di balas anggukan pelan dari Aran kemudian membaringkan tubuhnya itu di ranjang pesakitan itu dan menutup matanya menuju ke alam mimpi.

Sedangkan Devan masih duduk di kursi dekat ranjang Aran, menatap wajah pucat sahabatnya itu kemudian mendongakkan kepalanya ke atas menahan cairan matanya yang mendesak ingin keluar.

Nyatanya Devan tidak setegar itu mendengar keadaan sahabatnya, meski dia terlihat tenang, namun nyatanya hatinya sudah hancur mengetahui kenyataan pahit itu.

"Gue bakal benci lo jika lo nyerah gitu aja Ran" batin Devan dengan sendu.

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang