***
Chandra Riko Prasetya, pemuda dengan kecepatan diatas rata rata melaju dengan kencang menggunakan motornya. Tatapan sinis yang beberapa saat lalu dia tunjukkan pada Aran kini berubah menjadi tatapan sendu sarat penyesalan.
Entah apa yang pemuda itu pikirkan dari tadi hingga dia tiba didepan rumah mewah milik keluarganya.Setelah memarkirkan kendaraanya itu, Riko langsung memasuki rumah yang orang bilang tempat kita berlindung namun bagi dirinya rumah adalah neraka.
Dengan lesu, Riko menaiki tangga menuju kamarnya namun langsung terhenti saat pria yang dia sering panggil sebagai 'papa' itu memanggilnya.
"Bagaimana tugas yang saya berikan padamu hari ini dra? Apa dia sudah menandatanganinya?" tanya papa Riko menatap putranya itu.
Riko mendesah kesal.
"dia akan segera menandatanganinya" sahut Riko dengan nada ketus.
"Kapan?"
"Nggak tau"
"Saya mau secepatnya kertas itu kembali pada saya beserta dengan tanda tangan Cio. Jika tidak-"
"Jika tidak Papa akan mencelakai Aran? Pa, Riko sudah bosan dengan ancaman papa. Apa papa tidak bisa berhenti? Aran tidak bersalah pah. Tolong hentikan balas dendam ini dia sudah terlalu banyak menderita. Riko mohon pa" mohon Riko dengan sendu berharap papanya mau menerima permohonannya.
"Tidak akan! Ingat Dra, Cio yang telah buat mama kamu meninggal dua tahun yang lalu. Saya tidak akan pernah memaafkannya" Riko terdiam tidak membalas ucapan papanya lagi. Dirinya membenarkan kata yang diucapkan papanya itu namun hatinya berkata lain jika Aran tidak bersalah dan kenapa harus Aran yang terluka disini?
"Jika tidak ada tanda tangan itu katakan pada Aran jika hari itu terakhir kalinya dia melihat saudara kembarnya itu" ucap papa Riko sebelum berlalu meninggalkan Riko yang terdiam disana. Antara memilih papanya atau Aran yang sudah dianggapnya sebagai adik bahkan sampai sekarang meskipun dia tidak menunjukkan itu pada Aran namun hatinya selalu berteriak jika dia tetaplah sahabat Aran. Dia selalu ingin memeluk tubuh rapuh itu dan melontarkan candaan yang membuat Aran tertawa lepas seperti dulu.
"Maafin gue Ran" batin Riko dengan sendu.
***
Marsha melirik Aran yang menjadi teman sebangkunya itu dengan heran. Bagaimana tidak, pemuda itu dari tadi hanya menutup matanya dengan menelungkupkan kepalanya diatas lipatan tangannya yang berada dimeja Aran.
'Apa Aran pingsan?' batin Marsha karna sudah sejak memasuki pelajaran awal Aran tertidur. Beruntung saat ini guru mereka tidak hadir membuat suasana kelas sedikit ribut namum Aran tidak terusik sama sekali membuat Marsha terus memfokuskan matanya pada Aran.
Hingga suara ringisan pelan dari Aran seketika membuat Marsha diradang khawatir. Gadis itu langsung mengguncangkan tubuh Aran sedikit pelan.
"Ran lo baik baik aja?" tanya Marsha khawatir namun tidak mendatap jawaban sama sekali.
"Shhhh" suara ringisan tertahan Aran membuat Marsha semakin khawatir dan kalut. Dia yakin Aran sedang tidak baik baik saja.
Sedangkan Aran, Pria itu masih menundukkan kepalanya sambil mengelus dada kirinya berharap rasa sakit itu menghilang.
Sebenarnya sejak bangun pagi tadi Aran merasa sangat lemas ditamba kepalanya yang sangat pusing. Bahkan dia berniat untuk tidak sekolah.
Tapi jika dirumah akan semakin menambah sakitnya untuk apa dia disana? akhirnya sekarang Aran memutuskan untuk sekolah.
Dan kini rasa sakit itu sudah dua kali lipat dari tadi pagi. Bahkan jantungnya pun ikut menambah rasa sakitnya itu membuat Aran ingin menyerah saat itu juga.
Aran membuka matanya dan melihat Marsha dengan wajah khawatirnya walau pandangannya sedikit buram.
Ahhh, kenapa melihat Marsha sekarang membuat Aran sedikit lebih baik.Sadar atau tidak, Aran memeluk erat tubuh mungil Marsha membuat gadis itu seketika mematung. Entahlah, tiba tiba gadis itu merasa dia memiliki sakit jantung.
"Jangan tinggalin gue. Gue takut" lirihan itu membuat Marsha kembali tertegun.
"Ran" hingga Marsha merasa bebannya semakin memberat dan pelukan Aran terlepas. Kesadaran pria itu hilang menambah kepanikan Marsha dan tampa sadar dia berteriak membuat seisi kelas langsung menatap mereka.
Rio dan Devan langsung mendekati mereka dengan panik.
"Aran? lo kenapa? bangun Ran, jangan bercanda"ucap Devan panik."Kenapa Aran hah?" tanya Rio terdengar menuduh Marsha.
Marsha menatap tajam orang itu dengan kesal."lo nuduh gue hah? Aran itu pingsan. Bukannya langsung dibawa ke uks malah sempat nuduh orang lain" gerutu Marsha.
Sekarang mereka sudah dikerumuni oleh seisi kelas yang kaget melihat pria yang biasa membuat masalah kini tidak sadarkan diri dengan wajah pucatnya.
Devan yang kesal karna hanya ditonton langsung memapah Aran yang langsung dibantu Rio ke uks.
Marsha juga ikut menemani mereka membawa Ada tak lupa dia juga mengirim pesan ke Zean jika Aran ada di uks sekarang.
"Semoga lo baik baik saja Ran. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa lo tidak mau terbuka lagi sama gue? Padahal dulu lo selalu kasih tau sama gue tentang semuanya." batin Marsha sendu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran
Teen FictionKisah seorang pemuda rapuh yang harus menghadapi persoalan hidupnya yang rumit dan masalah yang silih berganti menghampirinya. "Aku rela hati dan fisikku terluka asalkan masih bisa melihat senyum dan tawa bahagia mereka yang aku sayangi. Walau bukan...