Bab 11

204 15 0
                                    

***

Zean menggemgam tangan dingin nan rapuh Aran dengan lembut. Jam sudah menunjjukan 01:37 dini hari dan Aran belum membuka matanya sejak acara pingsannya dua jam yang lalu membuat pria itu semakin dirudung rasa khawatir dan cemas.

Ini pertama kalinya Zean melihat Aran pingsan dan entah kenapa perasaannya tidak enak.
Dan saat Aran sakit, ayah dan ibunya juga tidak ada yang datang kesini. Sekedar untuk melihat keadaan sibungsu atau hanya melihatnya sekilas?

Ahhh itu tidak akan pernah terjadi.

"Eungh" suara erangan Aran membuat Zean refleks melemparkan beberapa pertanyaan untuk kembarannya itu.

"Adek, lo udah bangun? Mana yang sakit? Kenapa lo bisa tiba tiba pingsan hah? Besok kita kerumah sakit ya." Aran memutar matanya malas mendengar ocehan Zean.

Kepalanya bahkan masih sangat pusing tapi sudah langsung dilontarkan beberapa pertanyaan membuatnya semakin pusing.

"Bacot"

"Gue srius Ran "

"Hm"

"Pokoknya besok kita kerumah Sakit. Tidak ada bantahan" Aran menatap Zean sinis kemudian menutup matanya.

"Mending lo tidur sebelum lo yang bakal dikurung dirumah sakit" ucap Aran masih dengan menutup matanya.

"Ran, lo minum dulu ya" mengabaikan ucapan Aran, Zean malah menawarkan air minum yang diatas nakas dekat kasur kamar Aran.

"Pergi!"

"Nggak, gue masih mau jagaain lo Rann, lo demam tau nggak?" Aran membuka matanya kemudian meraba keninggnya yang memang terasa panas.

"Bukan urusan lo kan? Mending lo keluar sebelum gue yang nyeret lo" ucap Aran dengan tajam namun Zean hanya terkekeh pelan.

"Nyeret gue? Emang saat ini lo punya tenaga apa? Lo harus sembuh dulu biar bisa berantem lagi sama gue" Zeam tersenyum lebar kemudian membantu Aran meminum obatnya yang diterima Aran dengan pasrah karna memang dirinya tidak memiliki tenaga lagi bahkan hanya untuk mengelak.

Aran memang benar benar lemah.

"Nah, sekarang lo tidur lagi" ucap Zean setelah Aran siap meminum obatnya.

"Pergilah" ujar Aran lemah.

"Gue nggak akan pergi sebelum lo tidur" Aran mendesah pasrah kemudian menutup kedua manik itu.

"Ran, gue lebih suka lo mengucapkan kata kata pedas ke gue dari pada liat lo sakit kek gini. Tolong jangan sakit karna itu sangat sakit bagi gue juga"ucap Zean yang masih didengar Aran sebelum menjelajahi alam tidurnya.

***

Aran membuka matanya perlahan kemudian segera menutupnya karna silau matahari yang menembus kaca kamar itu berusaha menetralkan penglihatanya yang masih buram hingga normal kembali.

Merasa ada yang risih diatas keningnya, Aran meraba keningnya dan disana ada kain tipis yang mulai kering.
'Apa ini ulah Zean?'batin Aran karna seingatnya benda itu tidak ada semalam.

Aran menoleh kesamping kiri kanan dan langsung berdecak karna tepat disofa Zean meringkuk dalam tidurnya.

"Jadi dia menjagaku semalaman? Bodoh" guman Aran sebal namun tidak dalam hatinya yang khawatir melihat Zean meringkuk kedinginan disana.

Dengan perlahan, Aran bangun dari posisinya kemudian mengambil selimut hendak menyelimuti Zean namun urung saat tiba tiba pintu kamarnya terbuka keras.

Hingga muncul Shani dengan wajah khawatirnya dan berjalan kearahnya.

Aran tersenyum senang menyambut kedatangan bundanya yang mungkin mengkhawatirkanya.

"Bund-"

"Astaga Zean!!! Kenapa kamu disini sayang? Bunda cariin dikamar kamu" senyum Aran langsung luntur melihat tatapan khawatir itu bukan untuknya.

Seharusnya Aran sadar jika itu tidak akan pernah kenyataan bahkan hingga dia meninggal pun tidak akan ada menangisinya.

"Kenapa kamu biarkan Zean tidur disini hah? gara gara kamu Zean jadi demam. Apa kamu sengaja membiarkannya tidur di sofa tanpa selimut?" bentakan sang bunda membuat Aran tersadar dari lamunannya.

Aran menoleh ke Zean yang masih meringkuk dengan wajah pucatnya. Jadi Zean demam gara gara menjaga dirinya semalaman ini?

Inilah yang sangat Aran tidak suka. Bukankah semalam dia sudah menyuruhnya keluar? Sekarang anemia Zean kambuh dan yang selalu disalahin Aran bukan? Udah tau gak boleh kecapean tapi masih ngenyel, batin Aran menggerutu.

"Bunda, Aran-"

MAS!!!" ucapan Aran kembali terpotong karna Shani yang berteriak memanggil Cio.

"Ada apa, astaga Zean? Ada apa dengannya? Kenapa dia disini?' cercah Cio sambil mengusap rambut Zean yang lepek akibat keringatnya.

"Ini karna anak sialan ini. Awas saja jika putra saya kenapa napa"

Deg

Beginilah Shani, dia yang jarang bicara atau menegur Aran tapi sekali bicara yang ada hanya rasa sakit yang Aran dapat.
Dalam diam, Aran menatap kedua orangtuanya yang membawa Zean keluar dengan terburu buru. Terlalu khawatir dengan keadaan putra mereka dan sampai melupakan putra mereka yang lain yang juga merasakan sakit batin yang tak pernah terobati.

Aran berdecak mencoba melupakan rasa sakit yang sering menyapanya tanpa henti, kemudian dengan lemas dia memasuki kamar mandi membersihkan tubuhnya.
Sebenarnya dia juga ingin melihat keadaan Zean.

Bagaimanapun Zean sakit karna dirinya bukan? Tapi selalu egolah yang menang daripada kata hatinya sendiri.

Setelah siap dengan pakaian sekolahnya, Aran langsung mengambil tasnya berniat kesekolah tanpa sarapan.
Saat keluar dari kamarnya, Aran dapat mendengar sang ayah dan bundanya berada didalam kamar Zean yang memang bersebelahan.

Aran tersenyum miris, Jika Zean yang sakit, maka sang ayah dengan sejuta kesibukannya akan meninggalkan pekerjaan dan menemani putra kesayangannya itu. Sedangkan dirinya? Bahkan bertanya kabar dirinya saja tidak pernah lagi.

Aran menggeleng menyadarkan dirinya supaya tidak terlalu memikirkannya.

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang