Bab 28

172 13 1
                                    

***

Marsha melangkah dengan tak bertenaga dan kepala yang menunduk ke arah kantin. Pada akhirnya guru yang mengajar saat itu menghukum Marsha tidak di perbolehkan untuk mengikuti pembelajaran itu karna sudah lebih dari satu jam Marsha bolos.

Dan akhirnya disinilah Marsha berada, di kantin yang sepi itu. Setelah memesan minuman dingin, Marsha kembali duduk dan menyenderkan kepalanya di atas meja itu dengan tatapan kosongnya dan wajah sembabnya. Dia kemudian tersenyum miris dan remeh.

"Bodoh, lo bodoh Marsha. Gara gara perasaan sebelah tangan lo, lo harus kayak gini?"guman Marsha pada dirinya sendiri.

"Emang dia siapa? berani beraninya dia menghancurkan hati gue. Kalo nggak suka nggak gini juga caranya hiksss"isak Marsha kembali.

"Marsha!!!"mendengar seseorang memanggilnya, Marsha segera menghapus air matanya dengan cepat dan mengulas senyum paksaan.

"Zean, lo ngapain disini?"tanya Marsha dengan serak membuat pemuda yang didepannya itu mendesah berat lalu duduk disamping gadis itu.

"Lo kenapa?"

"Gue kenapa? gue biasa aja"sahut Marsha tanpa menatap Zean.
"Lo pi
kir bisa bodohin gue? jelas jelas wajah sembab lo menandakan lo baru nangis. Iya kan?"

"Hmmm"

"Siapa yang buat lo nangis?"

"Tadi Marsha jatuh" bohong Marsha dan menunjuk lututnya yang sedikit berdarah itu.

"Ini sangat sakit hiksss sakit Zean hiksss kenapa harus sesakit ini huaaaaa"lagi lagi tangis Marsha pecah, bukan karna sakit di lututnya itu namun sakit di hatinya yang sudah hancur lebur itu. Zean memeluk Marsha seraya mengelus rambut gadis itu untuk menenangkan, membiarkan wanita yang dicintainya itu menangis didalam pelukannya.

Zean yakin Marsha menangis bukan karna jatuh tapi ada hal lain. Dan Zean bersumpah, jika saja dia tau siapa yang melukai Marsha, maka dia sendiri yang akan menghancurkan wajah orang itu.

"Kita obatin luka nya ya!"ujar Zean setelah Marsha tenang.
Gadis itu mengangguk pelan, kemudian berjalan beriringan dengan Zean menuju uks.

"Gendong!"ucap Marsha dengan manja membuat Zean memutar matanya malas kemudian terkekeh.

"Nggak malu apa diliatin orang?"

"Biarin, suka suka gue"sahut Marsha dengan senyum.

"Hufffttt iya iya. Ayo naik"ucap Zean pada akhirnya dan berjongkok didepan Marsha membuat gadis itu memekik senang. Marsha segera menaiki punggung kokoh itu dan mengalunkan tangannya di leher Zean, sedangkan pria itu tersenyum lebar melihat tingkah Marsha.

"Zee, btw kenapa lo tiba tiba di kantin? bukannya sekarang masih belum jam istirahat, ya?"tanya Marsha mengisi di lorong sepi itu.

"Gue sih niatnya mau beli aqua aja, eh malah ketemu cewek cengeng" sahut Zean yang mendapat cubitan pada bahunya.

"Aw aww sakit Sha"

"Rasain"

"Gue jatuhin biar tau rasa lo"ancam Zean membuat Marsha semakin mengeratkan alunan tangannya pada leher Zean.

"Gue nggak bisa nafas bego!"

"Hehehehehe entar kukasih nafas buatan"

"Dasar cewek aneh"

"Tapi ngangenin kan?"

"Terserag lo aja deh"

"Hahahahaha"

***

Baru saja Aran memejamkan matanya dan masuk ke alam mimpinya, suara ketukan pintu membuat matanya kembali terbuka.

Dengan malas dan gontai, Aran membuka pintu kamarnya itu dan seketika tubuh itu mematung, Melihat orang paling berharga dihidupnya kini berdiri didepannya dengan wajah datarnya menatap Aran dengan dingin. Wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan, wanita yang dulu selalu memberikan kehangatan dan kasih sayang yang berlimpah padanya, yang selalu menjaganya bagaikan gelas kaca yang jika jatuh maka langsung hancur lebur, wanita yang sangat di rindukan oleh Aran untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun lamanya pertama menemui Aran. Sang bunda.

Dan ini bagaikan mimpi indah untuknya atau memang dia masih bermimpi? tidak mungkin bunda yang membencinya itu tiba tiba menemuinya kan? entah ini mimpi atau tidak, tapi Aran sudah sangat bahagia.

"Bunda" lirih Aran menatap tepat di mata Shani mencari kenyamanan disana berharap kasih sayang itu masih tersisa untuknya walau hanya secuil.

"Kamu tau apa kesalahan mu?"nada dingin itu langsung melunturkan harapan Aran.

"Maksud bunda?

"Bisakah kamu jangan terlalu merepotkan orang lain? hiduplah bagaikan bayang-bayang disini. Bukankah itu yang saya katakan saat kamu menginjak rumah ini? tapi kenapa kamu selalu membuat ulah? terserah padamu mau jadi berandalan, gila, atau apapun di luar sana tapi jangan pernah kau libatkan Zean"suara lembut itu begitu menancap dalam ke dada Aran hingga bernafas pun terasa sangat sulit.

"Aran sudah melakukan apa yang bunda minta bahkan menjahui Zean sudah Aran lakukan lalu apa lagi bunda? kenapa bunda selalu mengatakan kata-kata tajam untuk Aran?"ucap Aran dengan sorot sendu namun mata Shani terlalu gelap hingga tidak melihat begitu terlukanya Aran.

"Jangan buat Zean memasuki kehidupanmu, hingga jika kau pergi dia tidak akan terluka"

"Apa maksud bunda?"

"Setelah lulus SMA, kami akan mengirimmu ke inggris. Tinggal lah disana sesukamu. Ini sudah kami putuskan maka tetaplah bertahan sebagai bayangan disini hingga saat itu tiba"sahut Shani santai namun berhasil menghancurkan pemuda di depannya itu dan merobohkan pertahanannya.

Aran mengepalkan tanggannya erat menahan emosi dan juga sakit fisik dan batin yang datang bersamaan membuatnya ingin berteriak menyerah saat itu juga.

"Kalian tidak perlu repot repot menghabiskan uang untuk mengirimku kesana. Toh sebelum itu tiba, Aran akan segera pergi jauh. Sangat jauh supaya kalian bahagia"ujar Aran dengan datar namun matanya sudah memerah menahan bening air itu tidak keluar. Dia tidak mau menangis didepan bundanya, dia tidak mau di nilai sebagai anak cengeng.

"Baguslah, lebih cepat lebih baik" kata Shani pada akhirnya dan berlalu dari sana meninggalkan Aran yang tidak berdaya itu. Dengan cepat, Aran menutup pintu kamar itu dan meluruhkan tubuhnya di balik pintu itu.

"Tetaplah menjadi bayang bayang"

"Lebih cepat, lebih baik"

Kata kata Shani masih terngiang di telingannya membuat Aran menutup kedua telinga itu berharap tidak ada lagi suara tajam bundanya dan menangis disana.
Ya. Memang pada akhirnya dia tidak pernah di harapkan lagi.

"Tuhan, jika kepergianku memang membuat mereka bahagia, maka bawalah aku bersamamu sekarang juga. Detik ini, aku mengakui jika aku sudah menyerah."

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang