Bab 55

221 15 0
                                    

***

Pemandangan pertama yang Aran lihat setelah membuka matanya yang terpejam selama 4 hari ini adalah keluarganya yang mengerumumi brankarnya dengan ekspresi yang Aran pun sulit mengartikannya.

Aran mengerjap pelan, mencari kenyataan dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Senyum bunda, wajah lega oma dan opa, wajah berbinar Zean, wajah datar om Farhan, dan ayah? dimana pria itu?

"Kamu sudah sadar sayang?"

Dan detik itu Aran mengatakan jika yang dilihatnya hanyalah mimpi atau ilusi.

Sayang? sejak kapan bundanya jadi sebaik itu?

"Kenapa diam hm? mana yang sakit nak?"lanjut Shani kemudian mengecup kening putranya dengan sayang.
"Om..."panggil Aran dengan pelan.

"Kenapa? udah puas tidurnya?"tanya Farhan membuat Aran terkekeh di balik masker oksigen miliknya.

"Om kebanyakan kasih obat sama Aran ya? otak Aran jadi kegeser keknya makanya jadi halu. Masa bunda ada disini? pake panggil Aran dengan sayang lagi"kekeh Aran dengan miris membuat semua yang ada disana tertegun dan semakin merasa bersalah.

"Adek nggak halu. Ini beneran bunda kita"sahut Zean,sedangkan Aran memejamkan matanya kembali dan membuang muka kesamping.

Jadi ini nyata? tapi kenapa mereka tiba-tiba berubah? apa mereka udah tau yang sebenarnya? kalo iya, mungkinkah mereka hanya merasa iba? tapi bukankah kehangatan ini yang dia inginkan dari dulu? tapi kenapa terasa semu?

"Maafin bunda nak"mendengar penyesalan Shani, Aran kembali membuka matanya dan menatap bundanya dengan senyum tipis.

"Nggak papa"sahut Aran dengan singkat kemudian menutup kembali matanya.

"Om, Aran mau tidur"kata Aran, dan semua mengerti maksud perkataan Aran, jika dia ingin sendiri dulu.
Shani mendesah,kemudian tersenyum sendu.

"Yaudah, adek istirahat dulu ya. Bunda, oma, opa dan abang keluar dulu. Nanti bunda datang lagi temanin adek"ujar Shani yang tidak mendapat respon dan dia mengerti jika kesalaham yang dia buat memang tidak akan termaafkan.

***

Hari berganti, begitu juga dengan kehidupan Aran. Semuanya terasa baik-baik saja, dia tidak pernah mendengar kata-kata tajam yang menyayat hati itu lagi, dia tidak mendapat tatapan tajam dari keluarganya.

Akhirnya dengan senang hati, pemuda itu membuka pintu maaf kepada mereka yang dulu menyakitinya, yang dia sebut sebagai keluarga.

Kehidupannya kini berubah dalam sekejab dan dia sangat bersyukur akan itu. Namun dia merasa ada yang janggal dalam hidupnya saat ini, seperti ada kehampaan.

"Adek?"Aran mengerjap. Kemudian tersenyum ke arah Shani yang memanggilnya barusan. Saat ini di tangan Shani sudah tersedia mampan dengan bubur yang akan di makan putranya itu.

"Iya, bun?"tanya Aran.

"Kamu melamun? dari tadi bunda panggilin tapi nggak di sahut. Kamu mikirin apa hm?"tanya Shani kemudian meletakkan bubur itu di atas nakas.

"Nggak bun Aran nggak mikiran apa-apa"dusta Aran kemudian menutup matanya dengan nyaman saat tangan lembut bundanya mengelus surai hitam miliknya.

"Yaudah, adek makan dulu ya? habis itu minum obat!"ujar Shani menarik tangannya dari surai Aran, membuat pemuda itu mendesah kecewa. Padahal dia masih ingin merasakan elusan itu.

"Nanti aja bun"sahut Aran.

"Sayang kamu itu harus makan biar cepat sembuh kamu mau dikurung terus di rumah sakit ini?"Aran menggeleng kemudian menatap makanan hambar itu dengan malas. Bahkan melihatnya saja dia sudah mual.

"Mau di suapin!"ucap Aran pada akhirnya membuat Shani terkekeh. Putranya itu masih sama, akan manja padanya jika sedang sakit.

Dulu dia sangat senang jika putranya itu bermanja-manja padanya dan kini dia semakin menyesal telah menyia-nyiakan sumber kebahagiaannya dulu.

Tangan Shani dengan telaten menyuapi putranya itu dan dia tau jika pemuda itu menahan mual.

"Udah bun"kata Aran setelah menerima suapan kelima.

"Tapi masih lima sendok loh, sedikit lagi ya?"Aran menggeleng, menjauhkan tangan bundanya yang hendak menyuapinya.

"Mual"tolak Aran. Shani mengangguk pasrah.

"Bun, ayah mana?"tanya Aran dengan ragu karna sejak dia membuka matanya dua hari yang lalu, dia tidak pernah melihat kedatangan pria itu. Meski dia sangat marah dan kecewa dengan ayahnya itu. Nanum disisi lain, Aran masih menginginkan ayahnya, mengharapkan kasih sayangnya.

Shani tidak menyahut, wanita itu hanya tersenyum tipis kemudian memberikan pil-pil pahit itu untuk putranya.

"Adek, minum obatnya"ucap Shani yang di terima oleh pemuda itu. Setelah semua pel itu tertelan, Aran kembali menatap bundaya yang tidak menyahut pertanyaannya itu.

"Bun ayah mana?"tanya Aran kembali membuat Shani menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Jangan menyebutnya lagi di hadapan bunda, bunda tidak suka"sahut Shani.

"Maaf bun, tapi apa bunda tidak akan memaafkan ayah?"tanya Aran dengan ragu sedangkan Shani menatapnya tidak percaya.

"Memaafkan kesalahannya? apa adek udah maafin dia?"tanya Shani tidak percaya, sedangkan Aran mengangguk pasti.

"Sebesar-besarnya kesalahan seseorang kita tidak boleh membenci nda. Tuhan aja selalu memaafkan kesalahan hambanya lalu kenapa kita tidak bisa memaafkan kesalahan seseorang? kita itu hanya manusia yang tidak luput dari kesalahan"Shani menunduk tertegun dengan ucapan putranya itu. Dia tidak menyangka jika putra bungsunya itu sudah sedewasa ini.

Dia malu pada dirinya sendiri, dia saja hampir membunuh putranya itu dengan tangannya sendiri dan dengan mudahnya anak itu memaafkan kesalahannya.

Shani tersenyum tulus kemudian memeluk putranya itu dengan hangat, ada getaran aneh di hatinya saat Aran membalas pelukannya itu. Tiba-tiba saja dia tidak ingin melepaskan pelukannya.

"Kasih bunda waktu buat menerima semuanya" ucapnya kemudian dibalas anggukan pelan oleh Aran.

"Bun?"

"Hmm?"

"Riko. Dia nggak papa kan?"

***

AranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang