DUA PULUH SATU

86 14 4
                                    


🍁🍁🍁

Hari semakin senja Naifa masih tidak ingin beranjak dari tempatnya. Naifa tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap senja yang sangat menawan sore ini.

"Ternyata jadi seorang istri itu gak gampang ya." Gumam Naifa bermonolog.

"Tapi kok hubungan Ummah dan Abah bisa langgeng gitu. Bertahun-tahun malah."

Naifa terus bermonolog. Mata indahnya menatap siluet orange tanpa berkedip.
Hamparan persawahan yang sudah menghijau membuat kesan indah tersendiri bagi Naifa. Perkebunan sayur mayur juga sudah mulai tumbuh dengan subur. Sawi hijau menghiasi pekarangan rumah. Semenjak Naifa dan Yusuf pindah ke rumah ini, Naifa mulai menanam beberapa jenis sayuran di samping halaman rumahnya.

"Mas Yusuf belum pulang juga." Naifa menghirup udara sebanyak mungkin dan mengeluarkannya secara kasar. Tangannya memegang dada. Naifa semakin kesulitan bernafas.

"Ya Allah kok sesek gini."

Naifa berjalan kedalam dan menutup pintu dengan pelan. Tak lupa ia menutup seluruh gorden. Karena sebentar lagi adzan Maghrib akan segera berkumandang.

10 menit kemudian adzan sudah berkumandang. Naifa sudah duduk di atas sajadah miliknya. Gadis itu menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Rukun demi rukun ia tunaikan dengan sangat khusyuk. Kemudian ia menengadah dan bermunajat kepada sang pencipta. Tangisnya pecah. Lagi-lagi dirinya membuat kesalahan yang membuat suaminya merajuk. Menurut Yusuf, Naifa lalai dalam tugasnya.

Naifa lekas menyeka air mata yang terus saja berjatuhan dengan sangat sombongnya. Bukan rumah tangga seperti ini yang ia harapkan. Tapi rumah tangga penuh cinta dan kasih sayang. Tapi Naifa tidak pernah tahu bagaimana skenario yang telah di tentukan oleh Allah SWT. Selesai bermunajat Naifa langsung melanjutkan dengan membaca ayat suci Al-Quran dengan sangat khidmat.

Selesai melakukan kebiasaannya Naifa langsung turun ke bawah. Untuk menunggu kepulangan suaminya. Tak lupa ia juga membawa ponsel. Ponselnya berdering. Naifa melihat siapa gerangan yang menelepon dirinya. Nama Alisa terlihat di layar ponsel miliknya.

"Waalaikumsalam, kenapa Al."

"....."

"Owh ya sudah. Tungguin ya aku segera keluar."

"...."

"Iya Al. Assalamu'alaikum."

Panggilan berakhir. Naifa segera keluar untuk membukakan gerbang. Karena Alisha dan Andre sudah ada di sana.

"Maaf ya lama." Ucap Naifa di iringi dengan tawa sumbang.

"Iya Nai. Gak papa." Jawab Alisha dengan senyum hangatnya.

"Ya sudah ayo masuk." Ajak Naifa kepada kedua sahabatnya Alisha dan Andre.

Mereka duduk di sofa ruang tamu. Naifa meminta izin kepada mereka untuk membuatkan minuman hangat dan mengambil beberapa camilan di dapur.

"Rumah Bang Yusuf gede juga, Ndre." Ucap Alisha.

"Heem."

Mendapat jawaban yang singkat Alisha langsung menipuk wajah tampan Andre dengan tasnya.

"Kenapa si Al?." Tanya Andre heran.

Alisha hanya menyengir kuda.

"Kamu pernah ke sini sebelumnya?."

"Pernah."

"Kapan?."

"Satu tahun yang lalu."

"Selama itu?."

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang