EMPAT PULUH EMPAT

85 6 2
                                    

"Aku tidak tahu aku kenapa, tapi ini sangat aneh. Dadaku mendadak bergetar hebat dan bibirku kelu untuk berucap."

_anonim_

🍁🍁🍁

Naifa menatap Yusuf bingung. Bagaimana tidak bingung, pagi-pagi, sekali setelah ia kembali dari masjid, Yusuf menyuruh Naifa untuk ikut dengannya.

"Mau kemana, Mas?"

Bukannya menjawab, Yusuf justru tersenyum manis membuat Naifa semakin bingung dengan tingkahnya.

"Sudah sampai!"

Naifa membuka mulutnya tak percaya membuat Yusuf menutupnya dengan tangannya.

Ternyata Yusuf mengajak Naifa ke Danau yang tak jauh dari rumah mereka. Naifa baru tahu, jika di sekitar tempat tinggalnya ada danau seindah ini.

Apalagi di tepian danau sudah ada peralatan piknik, Naifa melihat ke arah Yusuf dan mengerutkan keningnya. Yusuf hanya tersenyum.

Yusuf menarik lengan Naifa. Keduanya berdiri tepat di pinggir danau yang memiliki air yang tenang. Yusuf tersenyum begitupun dengan Naifa. Keduanya menikmati sunrise, siluet nya berhasil membuat keduanya mengucapkan kalimat 'Masyaalah' secara bersamaan.

Naifa menyenderkan kepalanya di dada bidang sang suami. Yusuf mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

"Terimakasih telah berdamai dengan keadaan, Dek. Mas sangat bersyukur memiliki kamu," ucap Yusuf membuat Naifa melihat ke arahnya.

Naifa memeluk tubuh Yusuf, air matanya luruh. Membuat Yusuf  melepaskan pelukannya, tangan Yusuf menghapus jejak air mata yang keluar dari mata sang istri.

"Jangan nangis, Dek. Mas bawa kamu ke sini karena semalam kita tidak jadi dinner." Benar, mereka gagal pergi tadi malam, karena Naifa mengajak Yusuf untuk menemui Dinda di Rumah Sakit. Alhasil, acara dinner mereka pun di tunda. Kesalahpahaman diantara Naifa, Yusuf dan Dinda telah selesai. Mereka sudah melalui banyak hal. Yang terjadi sudah terjadi dan yang sudah terjadi tidak boleh terulang kembali.

Naifa sudah memaafkan Yusuf dan Dinda. Yusuf sudah memaafkan Dinda. Dan Dinda sudah memaafkan Yusuf. Mereka berharap Allah SWT meridhoi hubungan baru yang mereka sandang. Yaitu hubungan sebuah keluarga.

Yusuf mengajak Naifa duduk di karpet yang telah tergelar di rerumputan kecil. Keduanya menikmati sarapan pagi di tepi danau dengan view yang sangat indah.

Benar kata mereka, jika kita ikhlas semuanya akan terasa lebih baik. Begitu pun dengan Naifa, dia sudah ikhlas atas apa yang menimpa kehidupannya. Naifa yakin, sesuatu yang terjadi pada dirinya dan keluarganya bukan semata-mata kebetulan, namun Allah sudah mengatur segalanya.

Yusuf menyuapi Naifa dengan roti isi cokelat kesukaannya, keduanya tertawa tat kala dengan sengaja Yusuf malah memakan habis bagian Naifa. Setelah selesai sarapan, Yusuf merebah dirinya di paha Naifa. Naifa mengelus lembut pucuk kepala sang suami.

"Mas," panggil Naifa pelan.

Yusuf hanya berdehem tanpa membuka matanya.

"Mas, sholawatan dong"

Yusuf membuka matanya perlahan, wajah Naifa begitu dekat dengan wajah dirinya.

"Boleh, mau sholawat apa?"

"Apa aja, deh"

Yusuf bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan istrinya.

"Mahalul Qiyam aja ya."

Naifa menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

Yusuf menghirup udara sebentar, dan mulai melantunkan syair-syair sholawat dengan suaranya yang begitu merdu dan mendamaikan hati Naifa. Hati Naifa benar-benar berdesir sampai tak terasa air matanya ikut menetes.

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang