DUA PULUH TIGA

78 12 0
                                    


🍁🍁🍁

"Aku dimana?." Tanya Dinda bermonolog.
Dinda menatap sekelilingnya. Hanya ada pohon-pohon yang menjulang tinggi. Tidak ada rumah dan jalan. Banyak bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berterbangan.

"Dinda." Panggil seorang pemuda dari belakang. Dinda menoleh ke arahnya.

"Mas Fahri." Lirih Dinda.

"Kenapa kamu menyimpan dendam pada orang yang tidak bersalah, Din?." Tanya Fahri dengan raut penuh kekecewaan.

"Kamu telah menyakiti diriku, Din. Untuk apa balas dendam?. Aku sangat sedih disini. Melihat kamu menjadi seorang pendendam. Kematian diriku sudah takdir, Din. Jangan menyalahkan makhluk Allah. Kamu sangat membuat aku terluka, Din." Fahri menatap lekat gadis pujaannya.

Dinda menatap Fahri dengan mata berkaca-kaca. Linangan air mata turun membasahi wajah cantiknya.

"Kamu meninggal karena, Ans. Aku tidak mau Ans bahagia Mas. Aku ingin balas dendam dengan semuanya. Walaupun aku sendiri akan sangat menyakiti keponakanku." Teriak Dinda.

"Istighfar Dinda. Aku hanya ditakdirkan oleh Allah untuk mengenal kamu saja. Tidak untuk menikahi kamu Din. Yusuf tidak membuat aku meninggal. Itu adalah kecelakaan Dinda." Fahri membalas ucapan Dinda dengan penuh kelembutan. Dinda adalah calon istrinya. Dinda mengira bahwa Fahri meninggal karena Yusuf, sebab saat kejadian Fahri sedang sakit. Seharusnya Dinda tidak menyalahkan Yusuf. Takdir Fahri memang sudah seperti ini. Ternyata mereka berdua tidak ditakdirkan untuk membina rumah tangga.

"Lalu kenapa Ans menyuruh Mas untuk menyetir mobil. Jelas-jelas Mas Fahri sedang sakit." Ucap Dinda lirih. Tubuhnya terjatuh di atas rerumputan hijau. Fahri menyamakan posisi dengan Dinda.

"Jangan menangis Dinda. Suatu saat kamu akan tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya."

"Maafkan Mas, Din."

Dinda melihat wajah Fahri. Wajah yang membuat Dinda selalu tersenyum Kaka melihatnya. Wajah penuh keteduhan.

"Untuk apa Mas?."

"Maaf karena tidak bisa menepati janji, Mas." Fahri menangis. Wajah teduhnya kini memerah, membuat Dinda tidak kuat melihatnya.

Keduanya menangis terisak. Lama dengan posisi seperti itu. Dinda memeluk lututnya. Sedangkan Fahri menjambak rambutnya frustasi.

"Mas harus pergi, Din."

"Mas mau kemana?." Tanya Dinda. Dinda berdiri mengikuti langkah kaki Fahri. Tapi semakin Dinda berlari mengejar Fahri justru Fajri semakin menjauh darinya. Punggungnya sudah tidak terlihat di antar kabut asap yang tebal.

"Mas Fahri." Teriak Dinda dari tidurnya.
Wajah Dinda penuh dengan keringat dingin. Nafasnya sangat terasa sesak. Bibirnya sangat kelu.

"Ya Allah. Pertanda apa ini?." Tanya Dinda bermonolog.

"Mas Fahri." Dinda kembali menangis mengingat mimpinya.

"Aku gak mungkin berhenti Mas, semuanya semakin dekat. Maaf." Dinda menutup matanya dengan tangannya.

Setelah bangun dari tidurnya Dinda tidak bisa menutup kembali matanya. Ia melihat vigura di atas nakasnya. Di sana terlihat gambar Fahri yang tengah tersenyum lebar. Senyuman tanpa beban. Dinda memeluk vigura itu dengan penuh sayang. Impian untuk membina rumah tangga dengannya kini telah hancur.

"Aku sangat membenci dirimu, Ans. Aku tidak akan pernah membuat kamu bahagia." Geram Dinda. Tangannya mengepal.

*****

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang