TIGA PULUH SATU

82 7 0
                                    

🍁🍁🍁


Yusuf menundukkan kepalanya. Entahlah, Yusuf bingung harus mulai dari mana. Yusuf takut Dinda tidak bisa menerima keputusannya. Tapi Yusuf tidak ingin terus menerus membuat istrinya terluka. Bahkan Yusuf sendiri secara terus menerus mencampakkan Naifa. Sosok gadis Sholehah yang tidak pernah meninggikan suara di hadapannya.

"Begini Din." Yusuf menghirup udara sebanyak mungkin karena takut dirinya kembali menyakiti perempuan yang memang pernah membuat dirinya bergetar kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari bibirnya.

Yusuf kembali diam. Pikirannya larut dalam kebingungan.

"Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:
"Jika seorang wanita menangis karena di sakiti oleh pria, maka setiap langkah pria tersebut di kutuk oleh setiap malaikat"

Ingat Suf!
Satu tetes air mata wanita, maka 1.000 dosa bagi pria yang menyakitinya." Begitulah yang di katakan Haris saat itu. Entah berapa banyak dosa yang telah ia perbuat. Banyak air mata Naifa yang menetes akibat dirinya.

"Ya Allah, bantu hamba" batin Yusuf berkata.

"Ans. Gimana?" tanya Dinda.

****

Di lain tempat Naifa sudah selesai jam kuliahnya, saat hendak pulang dirinya melihat satu gerobak penjual pempek khas Palembang yang mangkir di dekat kampusnya. Naifa teringat suaminya.

"Mas sangat menyukai pempek, Dek. Tapi Mas belum pernah makan pempek khas Palembang itu loh. Nanti kalau kita libur kuliah, kita berlibur ke Palembang ya Dek." ucap Yusuf kala itu.

Naifa menghampiri gerobak penjual pempek tersebut. "Mas, pesen 2 ya, di bungkus!"

"Siap neng!"

Naifa duduk di kursi panjang sambil melihat si Abang yang tengah menghidangkan pempek kepada konsumennya.

Setelah 15 menit kemudian, pesanan Naifa telah selesai. Setelah Naifa membayarnya, Naifa langsung pergi ke parkiran untuk mengambil motornya.

Naifa memakai helm berwarna pink. Sebelum itu dirinya melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.

"Masih pukul 3. Apa aku samperin Mas Yusuf aja ya ke kampus? Paling tidak Mas Yusuf bisa menghargai usahaku kan?"

"Yo semangat Nai. Kamu pasti bisa"

Naifa mengendarakan motornya ke arah kampus tempat Yusuf mengajar. Hanya butuh satu jam untuk sampai di sana. Naifa membawanya dengan sangat kecepatan di atas rata-rata. Entahlah, Naifa ingin sekali pergi ke kampus suaminya.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya Naifa telah sampai di depan Kampus suaminya. Naifa berjalan ke arah ruang dosen dengan tangan kanan yang membawa plastik berwarna putih, mungkin suaminya akan ada di sana. Begitu pikirnya, jika tidak mungkin Naifa akan mengetahui informasi mengenai suaminya dari para dosen.

"Assalamu'alaikum." salam Naifa.

"Waalaikumsalam" ucap salah satu dosen wanita setengah baya yang menggunakan khimar syar'i berwarna hitam.

Wanita itu menghampiri Naifa yang tengah berdiri di depan pintu.

"Cari siapa ya?" tanyanya pada Naifa. Kerutan di wajahnya menandakan bahwa dirinya tidak mengenali gadis di hadapannya.

"Saya Naifa buk. Saya sedang mencari keberadaan suami saya buk" ucap Naifa dengan senyum hangatnya.

"Suami? Boleh tahu nama suaminya?"

"Yusuf"

"Pak Yusuf Al-Anshori?"

"Betul buk."

"Owh ternyata Pak Yusuf sudah menikah toh. Saya kira masih lajang. Soalnya dosen di sini sering menjodohkan Pak Yusuf dengan Bu Dinda. Karena memang mereka itu sering terlihat jalan berdua." ucapan dari wanita di hadapannya membuat Naifa mengerutkan pelipisnya.

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang