EMPAT PULUH TUJUH

64 7 0
                                    


"Wahai Allahku... Apakah ini?
Ujian kah? atau hukuman dari-Mu?
Jika ini merupakan ujian, kuatkan aku dalam menghadapi apapun yang terjadi. Namun jika ini suatu hukuman maka ampunilah diri ini ya Allah..."

_anonim_

🍁🍁🍁

"Kalau Umi sama Abi yang terserah kalian saja, bagaimana baiknya," ucap Umi ketika anak dan menantunya meminta pendapat tentang mengadopsi Ara.

Yusuf dan Naifa sudah berkunjung ke rumah Ummah Azizah terlebih dahulu sebelum mereka mengunjungi kediaman Abi Ali.

"Umi akan selalu mendukung apapun keputusan kalian berdua, namun di balik itu, tolong dengarkan baik-baik nasihat Umi ya, semoga kalian tidak tersinggung." Perkataan dari Umi Indah membuat Yusuf dan Naifa mengernyitkan dahinya.

"Bagaimana Umi?" tanya Yusuf.

"Kalau Umi menyarankan, agar kalian mengadopsi seorang bayi yang masih menyusui, agar kelak dewasa kalian menjadi mahram bagi anak tersebut. Betulkan Abi?"

"Betul kata Umi, Suf. Kamu pasti paham masalah ini kan?"

Yusuf meneguk saliva susah. Yusuf sudah tahu masalah ini sebenarnya, hanya saja Yusuf tidak ingin membuat Naifa bersedih, makanya dirinya tidak tega mengatakan itu semua.

Naifa merasa sedih dengan ucapan mertuanya. Namun ucapan itu memang benar, Ummah Azizah pun mengatakan demikian.

Umi Indah bangkit dari duduknya dan menghampiri dimana menantunya duduk. Umi Indah memeluk Naifa, mencoba menenangkan hatinya yang pasti sakit mendengar jawaban darinya.

"Umi minta maaf ya, kalo ucapan Umi menyakiti perasaan kamu, Nai."

Naifa melepaskan pelukan dari ibu mertuanya dan tersenyum hangat.
"Gak papa Umi, lagian apa yang di ucapkan Umi dan Abi, itu juga sama seperti yang di ucapkan oleh Ummah"

"Mas Yusuf sepertinya juga sudah paham, tapi mungkin Mas Yusuf gak mau nyakitin perasaan aku. Makanya Mas Yusuf gak bilang-bilang dari awal, iyakan Mas?"

"Maaf ya, Dek." Tangan Yusuf menggenggam erat tangan Naifa. Seolah-olah benar-benar merasa bersalah.

"Iya Mas. Sekarang aku paham kenapa Mas Yusuf waktu itu diam aja."

****

Setelah berbincang hangat dengan Abi Ali dan juga Umi Indah, Naifa memutuskan untuk berdiam diri sebentar di Kamar Yusuf.
Yusuf sendiri ditugaskan Abi Ali untuk membadal beliau mengisi kajian rutinan Minggu di pondok pesantren yang memang di adakan khusus untuk jemaah umum.

Sembari menunggu suaminya, Naifa membantu Umi Indah untuk menyiapkan makan siang. Naifa sudah pandai memasak sekarang, bahkan membuat rendang khas Padang pun dia sudah bisa.

"Kamu semakin pandai, Nai. Umi aja kalah," puji Umi Indah tat kala melihat Naifa yang memang sudah mahir dengan urusan dapur.

Setelah lulus kuliah, Naifa tidak melanjutkan studinya. Melainkan Naifa merintis usaha kecil-kecilan di bidang kuliner sama seperti almarhum Abah. Sekarang Naifa sudah memiliki dua cabang, di Jakarta dan juga Bandung. Tentu saja usaha ini di bantu oleh Yusuf, suaminya. Restoran di Jakarta, langsung Naifa dan Yusuf yang mengurusnya, sedangkan yang di Bandung, join bisnis dengan Dinda dan juga Nabil. Karena sekarang, Dinda ikut Nabil tinggal di Bandung, kampung halamannya.

Membicarakan soal Dinda, sekarang Dinda sedang hamil anak pertamanya dengan Nabil, setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 3 bulan. Naifa kadang merenungi nasibnya, Dinda saja yang baru 3 bulan sudah mengandung, sedangkan dirinya yang sudah 5 tahun lebih, bahkan belum di karuniai anugerah tersebut. Naifa ikhlas, tapi tidak menyerah. Mendengar jawaban dari Haris kala itu pun membuatnya semakin semangat.

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang