DUA BELAS

101 19 1
                                    

🍁🍁🍁

POV Author

Setelah dua Minggu berlalu, akhirnya hari pernikahan Naifa dan Yusuf segera berlangsung. Akad nikah di lakukan di rumah mempelai wanita.

Naifa sangat gugup.

Menikah muda bukan impian dan cita-citanya. Tapi ini keharusan karena memang wasiat Abah, begitu pikirnya.

"Kamu sangat cantik Naifa." Puji Sari sang penata rias pengantin.

Naifa bahkan sangat tidak mengenali dirinya. Wajahnya yang terbiasa natural kini terlihat lebih bercahaya dengan balutan make up sederhana namun sangat elegan.

Kebaya putih yang memang di desain dengan model gamis sudah melekat di tubuhnya. Khimar syar'i berwarna senada juga sudah melekat di kepalanya. Tak lupa ada mahkota di atasnya.

"Apa engga berlebihan ya Mbak?." Tanya Naifa. Karena memang ia sangat tidak percaya diri dengan penampilannya saat ini.

"Engga dong Naifa, kamu memang harus berpenampilan seperti ini. Ini kan hari pernikahanmu."

"Tapi kalo memang Naifa merasa risih, Mbak punya solusinya." Usul dari Sari.

"Apa Mbak?."Tanya Naifa penasaran.

"Naifa pake cadar aja ya, biar penampilannya terhalang juga, soalnya Naifa cantik bener, baru pertama kali Mbak merias pengantin secantik kamu. Padahal make up nya sederhana. Tapi ya emang dasarnya kamu cantik." Ucap Sari sambil terkekeh.

"Ya udah boleh Mbak."

Sari pun memakaikan cadar pada Naifa. Kali ini penampilan Naifa sudah sangat luar biasa. Dan Naifa sudah merasa lebih baik.

"Ya udah, kamu tunggu di sini ya. Biar saya panggil Bibi kamu kemari." Ucap Sari pada Naifa dan di balas anggukan kepala.

Setelah Sari keluar dari kamar Naifa, kemudian Ica sampai di kamar Naifa setelah ketukan pintu dan ucapan salam terlebih dahulu.

Ica memang sudah mengetahui semuanya.
Ans-nya Ica adalah Yusuf-nya Naifa.
Ica sangat-sangat terpukul dengan pernikahan Naifa keponakannya dan Ans pria yang di kagumi nya.

"Ponakan Bibi sudah siap aja nih." Goda Ica pada Naifa. Padahal dirinya sedang sangat bersedih.

"Bibi kok godain Nai terus si, padahal Nai lagi deg-degan banget."

"Gak usah deg-degan juga Nai, harus santai dan rileks, oke."

Naifa tersenyum dengan ucapan dari Bibinya itu."Bibi kok nangis?."Tanya Naifa setelah ia menyadari bahwa cadar yang dikenakan bibinya itu basah tepat di bawah matanya.

"Eng-gak kok."

"Jangan bohong sama Nai Bi."

"Bibi Kenapa?." Kali ini jemari Naifa yang sudah berhiaskan Hena putih itu menyentuh cadar yang di kenakan oleh Bibinya itu.

Memang benar. Ica menangis tersedu-sedu dari semalam. Jika ia tidak mengenakan cadar mungkin wajahnya sudah terlihat bengkak dan merah.

Ica tidak menjawab pertanyaan dari Naifa. Ia malah memeluknya dan menangis.

Naifa tidak kembali bertanya. Ia membiarkan Bibinya itu menumpahkan air mata di pundaknya.

"Bibi sangat terharu Nai. Ternyata jodoh kamu dan jodoh Bibi duluan jodoh kamu." Tutur Ica masih dalam posisi yang sama.

"Jadi Bibi sangat terharu Nai. Kamu akan menikah muda dan segera melengkapi agamamu dengan seorang pria yang baik dan sholeh. Bibi berdo'a semoga kamu selalu bahagia menjalani pernikahan ini."

Diary Naifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang