Rumit

358 69 13
                                    

"Seperti yang kau baca diponselku, namanya Layana." Bible menunjukan sebuah foto di mana gadis cantik berambut panjang tersenyum pada kamera. Sepertinya gadis itu lebih muda, entahlah, Biu sendiri enggan menebak umurnya.

"Apa dia benar-benar adikmu? Untuk apa membawa fotonya didompet?" Biu kesal sendiri. "Aneh sekali."

"Dia keluargaku satu-satunya, Biu." Bible menatap foto ditangannya dengan nanar. "Dia satu-satunya manusia di dunia yang berhubungan darah denganku. Hanya Laya yang tersisa."

Biu mengerutkan keningnya, semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak Bible sampaikan.

"Lihatlah," Bible mengeluarkan foto lainnya. Kali ini sebuah potret keluarga yang nampak hangat. Ayah, ibu, anak laki-laki kisaran tujuh tahun dan anak perempuan yang masih ada dalam kereta bayi. "Ini aku saat pertama kali masuk sekolah." Bible menunjuk sosok anak laki-laki dalam foto, Biu menelitinya. Terlihat mirip dengan Bible yang ada dihadapannya, namun jauh seratus kali lebih imut.

"Lalu?" Tanya Biu, berusaha mempertahankan ketegasan dalam nada bicaranya.

"Ini Layana." Bible menunjuk balita yang tersenyum memperlihatkan giginya. "Dan ini adalah kedua orang tuaku, foto ini diambil sebelum kami kecelakaan."

"Kecelakaan?" Biu tercekat.

"Iya, mobil ayahku tertabrak oleh mobil lain yang di mana pengendaranya sedang mabuk berat. Ayah dan ibuku yang duduk di kursi depan tidak selamat." Bible diam sejenak, mengingat kejadian yang membuatnya trauma setengah mati. Tetapi kejadian itu pula yang mengantarnya untuk menjadi montir seperti sekarang.

Biu meremas tangannya, tidak menyangka kecemburuannya akan membawa Bible kembali pada kisah kelam pria itu. Ia menyentuh pundak si montir. "Sudah Bib, aku percaya."

Bible tersenyum kecil. "Tapi kau penasaran, kan? Biar aku ceritakan."

"Tidak usah." Biu menggeleng, meski matanya terlihat gelisah, seperti benar-benar ingin tahu tentang apa yang terjadi selanjutnya. Setelah kecelakaan yang menimpa keluarga Bible.

"Aku tidak apa-apa, aku benar-benar ingin bercerita padamu tentang semuanya." Bible mengengam tangan Biu. "Aku lupa bagaimana awalnya, tetapi tiba-tiba aku dan Laya masuk ke sebuah panti asuhan dipinggir kota. Kami tinggal di sana sekitar dua bulan, aku bahkan sudah masuk kembali sekolah ketika ada yang menjemput kami."

"Menjemput? Siapa?"

"Sebuah keluarga yang katanya menginginkan kami menjadi anaknya." Bible terlihat menerawang. "Aku yang baru kehilangan ayah dan ibuku tentu senang, apalagi adikku yang masih balita akan menerima perawatan terbaik dari kedua orang yang terlihat menyayangi kami. Aku dan Laya diperlakukan amat baik, kami menikmati masa kecil hingga remaja yang bahagia. Meski tanpa orang tua kandung, kami berdua mendapatkan limpahan kasih sayang yang tak terkira." Bible tersenyum masam tiba-tiba, membuat Biu merasa merinding melihatnya. "Sayangnya, saat aku ditahun akhir kuliah, aku mengetahui bahwa orang tua angkatku adalah orang yang memiliki sangkut paut dengan kecelakaan keluargaku dimasalalu. Mereka tidak benar-benar tulus pada kami."

Biu mengigit bibir, hampir saja menyuarakan kekagetannya.

"Aku berandai-andai Biu, kalau saja aku tidak mendengarnya, kalau saja aku tidak mengetahuinya, mungkin aku masih bisa merasa bahagia bersama mereka. Sama seperti adikku, Laya."

"Jadi, adikmu tidak tahu Bible?"

"Adikku tahu. Tetapi Laya yang tidak pernah memiliki memori bersama orang tua kami, memilih jalan hidup yang berbeda denganku." Bible menjeda ucapannya. "Meski mengetahui bahwa orang tua angkat kami dibayar untuk mengasuh kami, dia tidak bergerak sedikit pun. Rasa cintanya pada orang tua angkat kami tidak berkurang sedikit pun." Bible terlihat mulai kesulitan mengatur emosi, wajahnya memerah dengan deru nafas terpacu. "Orang kaya memang seenaknya mempermainkan kehidupan orang lain. Mereka kira uangnya bisa membeli kehidupan yang telah dirusak."

Biu merasa kepalanya berputar, ia tidak sanggup mendengar lagi kisah masalalu Bible. Tanpa basa-basi dirinya langsung memeluk si pria besar yang nyatanya begitu rapuh. "Maaf karena membuatmu mengingat kenangan buruk. Aku tidak seharusnya meragukanmu."

"Aku tidak memiliki siapa pun Biu. Aku sendirian. Terkadang aku merasa takut."

"Aku di sini Bible. Aku di sini. Aku akan menjagamu."

"Menjagaku?" Bible melepaskan sedikit pelukannya hingga bisa menatap Biu.

"Aku benar-benar bisa menjagamu. Lagi pula ternyata kau lebih muda dariku."

"Hah?"

Biu menunjuk dompet Bible yang masih terbuka, terlihat surat izin mengemudi disisi kirinya. "Aku lebih tua darimu."

"Tidak mungkin."

"Aku dua puluh sembilan. Aku kaya. Aku bisa menjagamu. Jangan khawatir. Kau tidak sendirian." Biu kembali memeluk si pria. "Aku tidak akan kemana-mana, jadi kalau lukamu terasa perih lagi suatu waktu, datanglah padaku, aku akan selalu memelukmu seperti ini." Biu menepuk-nepuk punggung Bible. "Jangan khawatir. Kau aman. Orang-orang jahat diluar sana tidak bisa menyentuhmu."

Bible memeluk Biu lebih erat, bersandar pada pria kecil itu. Menyudahi perdebatan tentang umur mereka.

"Kau hebat bisa melaluinya. Kau hebat. Anak hebat. Bible hebat."

Sebenarnya Biu berkaca-kaca, hampir menangis namun ia tahan sekuat tenaga. Bagaimana pun, dalam keadaan seperti ini ia harus tegar. Sebab Bible sedang rapuh, dirinya harus bisa menjadi topangan.

Pria besar itu dan traumanya, Biu berjanji akan memeluk semuanya. Seperti apa yang ia katakan.

***

"Gimana nak?" Wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda menatap putrinya penuh harap.

Malivalaya Sumettikul yang berubah nama menjadi Layana Ong, mengikuti nama pemberian keluarga angkatnya. Berbeda dengan sang kakak yang telah kembali pada nama aslinya, si gadis keturunan Thailand itu tidak ingin mengubah apapun lagi. Apa yang terjadi sudah terjadi, baginya menyesali hanya menyita waktu yang tersisa di dunia. Orang yang pergi akan tetap pergi, orang yang hidup harus melanjutkan hidup. Begitulah prinsip yang Layana pegang.

"Kak Bible sedang bersama teman-temannya diluar kota." Layana mengarang cerita pada ibunya. Enggan memberitahu bahwa respon sang kakak masih sama, begitu dingin dan asing. "Kita ke sini lagi lain kali ya ma." Layana mengusap pundak ibu angkatnya, wanita cantik yang telah berumur itu nampak sedih.

"Kapan? Bible pasti masih marah sama mama dan papa."

"Enggak, bukan begitu. Nanti kakak kabari kalau sudah kembali."

"Benar?"

"Iya, ma."

"Nanti kita ke sini lagi sama papa ya?" Mata si wanita tua terlihat berharap, menunggu jawaban dari anak angkatnya.

"Iya." Layana tersenyum menenangkan. "Nanti kita ke sini jemput kak Bible untuk kembali bersama kita lagi."

Gadis itu mendorong kursi roda ibunya hingga ke depan mobil, ia menyetir hampir dua jam untuk sampai ke bengkel tempat Bible berada.

Milik ayah kandungnya yang diwariskan dari kakek buyut keluarganya.

***

Halo 👋🏻👋🏻👋🏻
Hayo siapa yang kemarin ngira Layana bukan adik Bible? Wkwk

TreffenWhere stories live. Discover now