"Huh iri." Biu menatap pasangan yang mendorong troli di depannya. Mereka nampak begitu mesra, saling bicara mendiskusikan apa saja yang akan dibelinya.
Semantara ia sendirian, begitu mengenaskan dengan wajah cemberut. "Harusnya aku tidak membiarkan Bible menunggu di mobil. Ah, Biu bodoh. Lihat, aku benar-benar iri."
Melihat pasangan lain yang muncul dihadapannya, membuat Biu semakin kesal. Untung meminta si montir mengantarnya hingga supermarket saja ia harus menghalalkan segala cara. Seharusnya Biu lebih cerdik lagi. Sayang sekali jika acara belanjanya tidak romantis seperti yang lain.
"Berpikir Biu. Berpikir. Ayo gunakan otakmu itu."
"Permisi, saya ingin mengambil pasta." Seorang pria dewasa kira-kira seusianya menatap Biu keheranan. Sebab si manis hanya berdiam diri diantara rak pasta dan mie instan.
"Eh, silahkan. Silahkan."
Bukannya memilih bahan makanan, pria kecil itu akhirnya menepi setelah mendapatkan ide brilian. Tiba-tiba saja otaknya bekerja dengan baik.
Ia meninggalkan si pria dewasa yang menatapnya meski Biu telah meninggakan rak pasta. Pria itu tersenyum.
Biu sengaja mendekat pada satpam yang ada di dekat kasir. "Akh perutku." Biu mengaduh, berpura-pura kesakitan sembari memegang perutnya.
Melihat ada salah satu pelanggan yang kesakitan, si satpam segera menghampirinya. "Tuan ada apa?"
"Perutku keram tiba-tiba pak. Bisa tolong telpon suamiku?"
"Tentu saja tuan, mari duduk di sana terlebih dahulu." Sang satpam membantu Biu untuk menuju pada kursi besi yang ada di pojok supermarket.
"Ini, tolong telpon suamiku sekarang." Baru saja pantatnya menyentuh kursi, si manis sudah mengeluarkan ponselnya dan menodong satpam supermarket untuk membantu melancarkan rencananya.
Si satpam yang polos mengangguk setuju. Menerima ponsel yang telah berdering.
"Kenapa?!" Suara disebrang sana terdengar membentak, membuat satpam supermarket itu harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Tidak apa-apa. Suamiku memang nada bicaranya begitu." Biu memberi isyarat agar pria itu kembali melanjutkan telpon.
"Kenapa diam?! Sudah beres belum belanjamu? Lama sekali."
"Maaf tuan, saya satpam supermarket."
"Lalu di mana pemilik ponsel?"
"Suami anda ada di sini tuan, sedang beristirahat. Perutnya tiba-tiba sakit. Apa tuan bisa masuk ke dalam, kami sekarang berada di area dekat kasir."
"Saya ke sana sekarang. Tolong jaga—" Ucapan Bible terputus sejenak. "Suami saya. Tolong jaga dia dulu."
"Baik tuan."
Telpon terputus, si satpam mengembalikan ponsel itu pada Biu yang mendongkak menatapnya dengan serius. "Bagaimana? Apa suamiku akan ke sini?"
"Iya tuan. Suami anda segera menuju kemari."
Senyuman Biu merekah, wajah pura-pura sakitnya lenyap begitu saja. "Ini untuk bapak. Anggap saja tanda terimakasih karena menolongku." Biu mengeluarkan beberapa lembur uang.
"Tidak perlu tuan."
"Tidak apa. Ambilah."
"Terimakasih tuan. Terimakasih banyak." Si satpam berterimakasih, tidak menyangka akan mendapatkan uang yang setara dengan setengah gajinya satu bulan. Apa pria kecil di depannya dermawan? Ia hanya melakukan tugas yang memang seharusnya ia lakukan.
"Biu kau kenapa?" Bible datang dengan wajah paniknya, sepertinya pria itu berlari dari parkiran.
"Perutku sakit. Tadi aku membentur troli."
"Astaga. Kenapa tidak hati-hati?" Bible ingin sekali memarahi Biu tetapi tidak bisa karena mereka ada dimuka umum.
"Aku kan sudah bilang, temani aku belanja. Apa susahnya memang."
Si satpam yang masih berada di sana merasa tidak enak mendengarkan perdebatan itu. "Tuan kalau tidak ada yang perlu dibantu lagi, saya permisi kembali ke dalam."
"Iya pak, terimakasih." Bible yang menjawab. Sementara Biu hanya mengangguk kecil.
"Sudah tidak usah belanja. Kita pulang saja."
"Tidak." Biu menarik tangan Bible yang hendak berbalik. "Aku ingin memasak. Ayo temani sebentar."
Bible hendak menolak, tetapi wajah memelas Biu dan tatapan memohonnya membuat hatinya iba.
"Please Bible. Ayolah. Sekali saja. Temani aku belanja."
"Kau merepotkan." Bible berdecak. "Cepat jalan. Aku hanya akan menemanimu lima belas menit."
Biu menahan dirinya untuk tidak bersorak girang. "Troliku di sana." Tunjuknya pada tempat di mana ia meninggalkan trolinya. "Oh iya Bible, kau mau makan apa malam ini?"
"Diam jangan banyak bicara." Bible mendelik.
"Ish galak sekali." Biu menghentakan kakinya. "Itu troliku. Ayo dorong dan ikuti aku."
Bible menatap punggung kecil yang mulai berjalan menjelajahi rak-rak bahan makanan dengan curiga. "Bukankah kau sakit perut?"
"Eh?" Biu yang sedang memilih sayuran menoleh. "Memang sakit perut kok."
"Tapi tidak terlihat seperti itu."
"Aku menahannya tahu."
"Kalau kau bisa menahannya kenapa harus memanggilku segala. Membuat aku khawatir saja."
Mata Biu membulat, berbinar. "Kau khawatir padaku?"
Bible memutar bola matanya, berdeham singkat. "Cepat ambil apa saja yang kau butuhkan. Waktumu hanya sepuluh menit lagi." Sejujurnya Bible salah tingkah, tetapi ia menyembunyikannya dengan berpura-pura galak seperti biasa.
"Kau benar-benar menghitungnya?" Tanya Biu tidak percaya.
"Cepat. Tinggal sembilan menit lagi.
"Ish mana bisa begini?!" Biu bergegas memilih apa saja yang ia butuhkan. Belanja romantis apanya, ini lebih tepat disebut belanja militer. Menyebalkan.
"Delapan menit."
"Bible diam." Biu merenggek. Melempar beberapa sayur yang asal diambilnya.
Bible terkekeh melihat pria kecil itu nampak kesal dengan bibir cemberut lucu.
"Tujuh menit."
"Bibleeeeeee..."
***
Sneak peek 2 end
Halo teman-teman 👋🏻
Bagi yang berminat untuk memiliki versi lengkap Treffen bisa hubungi aku secara pribadi via dm wattpad, ig dan twitter (user : estcasse_)
Dari 50 kuota yang tersedia, tersisa 9 lagi ya.
Silahkan hubungi aku secepatnya. Begitu kuota penuh maka PO pdf akan ditutup.
Sampai bertemu disneak peek selanjutnya. Ada 8 sneak peek lagi sebelum PDF dikirim pada hari minggu 28 April 2024.
Terimakasih, salam hangat, estcasse.
🥰✨
YOU ARE READING
Treffen
FanfictionLiburan terakhir yang ia lakukan sebelum menjabat menjadi CEO, disalah satu perusahaan keluarganya, berakhir tidak baik. Biu justru malah harus merasakan patah hati akibat pertemuannya dengan Bible, pria asing yang membuatnya jatuh cinta dalam wakt...