Satu bulan

391 59 21
                                    

"Apa dia bersikap seperti ini karena tidak ingin menjadi CEO?" Tuan Puttha menghela nafasnya mendengar pertanyaan dari putra sulungnya. Kedua pria dewasa itu tengah berdiri di depan kamar si bungsu.

Sejak kembalinya pria kecil itu kemarin siang, ada keanehan yang terjadi dan mengemparkan keluarganya. Biu datang dengan wajah sembab, penuh air mata dan ratapan duka. Ketika nyonya Puttha bertanya apa yang terjadi, sang putra hanya menjawab dengan isakan lebih kencang.

Meski Biu adalah bungsu, namun pertama kalinya ia bersikap seperti ini. Menangis sehari semalam tanpa henti. Bagaimana keluarganya tidak khawatir?

"Sudah, jangan dipaksa lagi." Nyonya Puttha akhirnya angkat bicara. Wanita enam puluhan itu menatap suami dan anak sulungnya bergantian. "Biu sepertinya sangat menderita. Mama tidak mau melihatnya begini."

"Tapi ma, bagaimana pun dia harus ikut terjun ke bisnis." Bass tidak setuju dengan keinginan ibunya. Setelah adik perempuannya—Bie—menikah, hanya tersisa ia dan Biu. Tidak mungkin jika Biu juga dibebaskan dari tugas untuk mengurus bisnis keluarganya. Bass tidak akan sanggup jika mengurus semuanya sendiri.

"Mama mengerti nak, tapi lihatlah, adikmu tidak bahagia." Nyonya Puttha hampir meneteskan air mata mendengar tangis anaknya yang masih sama. "Biu bahkan menolak berbicara dengan kita semua. Bagaimana kalau dia sakit?" Wanita paruh baya itu menyentuh pundak putra sulungnya. "Setidaknya berikan dia waktu, beberapa bulan kedepan. Hingga dia siap. Papa dan Bass bisa mengurus semuanya kan hingga saat itu? Mama yakin. Kalau perlu, mama akan ikut membantu di perusahaan."

Bass menggeleng. "Aku akan mengurusnya. Mama tidak perlu bekerja lagi."

Nyonya Puttha menghabiskan hampir tiga puluh tahun untuk ikut membangun bisnis bersama suaminya, sang sulung tidak tega jika ibunya harus kembali berkutat dengan bisnis yang melelahkan.

"Biar papa yang bicara dengan putra kita." Tuan Puttha mengusap kepala istrinya lembut. "Mama dan Bass tunggu di bawah."

***

Setelah meminta pelayan untuk mengambilkan kunci kamar cadangan, tuan Puttha kemudian bisa masuk ke dalam kamar putranya.

Kamar Biu yang didominasi dengan warna pastel nampak gelap, si mungil tidak menyalakan lampu atau membuka gorden.

"Biu.."  Tuan Puttha memanggil putranya lembut. Pria itu menyalakan lampu membuat si manis yang berantakan terbangun dari posisi tengkurapnya. "Nak, apa yang terjadi?"

Hati-hati tuan Puttha melangkah, hingga pria itu kemudian duduk dipinggir ranjang. "Biu.." Melihat keadaan putranya yang kacau, membuat pria paruh baya itu menghela nafas. "Matamu sembab nak."

"Papa.." Biu menangis lebih kencang, melihat ayahnya membuat ia ingin meraung sekeras-kerasnya. Pria kecil itu memeluk ayahnya erat, membagi sesak didadanya. "Papa.. Biu, Biu sakit hati.."

"Sakit hati?" Tuan Puttha mengerutkan alisnya. "Siapa yang membuat putra kesayangan papa sakit hati? Sebutkan namanya."

"Tidak." Biu mencebik, melepaskan pelukan pada ayahnya. "Papa tidak boleh ikut campur. Ini urusan Biu."

"Apa yang terjadi?"

"Aku menyukainya pa. Benar-benar suka." Biu mengelap air matanya asal. "Meski dia meninggalkanku, aku mau dia pa. Bagaimana ini?"

Tuan Puttha menepuk-nepuk kepala anaknya. "Papa kira kau menangis karena tidak mau menjadi CEO, ternyata hanya masalah hati."

"Hanya? Biu benar-benar terluka loh." Biu melotot. "Biu dicampakan tahu."

TreffenWhere stories live. Discover now