Rencana

738 95 22
                                    

"Bekerja, bekerja dan bekerja." keluhan itu berasal dari pria manis yang duduk dikursi wakil direktur.

Namanya Biu, berusia dua puluh sembilan tahun. Tetapi jika dilihat dari posture tubuhnya, ia malah lebih cocok disebut anak SMA. Wajah kecilnya nampak sepuluh tahun lebih muda, mungkin karena gaya hidupnya?

Ah, tidak. Biu memiliki gaya hidup yang buruk. Senang berganti pasangan dan berpesta. Kita sebut saja awet mudanya itu berasal dari dompetnya.

Sebagai keturunan keluarga Puttha yang dilimpahi kekayaan sejak lahir, mudah untuknya melakukan banyak perawatan untuk mempertahankan kecantikannya.

"Aku lelah Lim." Biu mencebik. Sifat manja sebagai putra bungsu memang tidak bisa hilang meski ia hampir kepala tiga. "Rasanya ingin segera menikah dan ikut suamiku."

Lim, sang asisten pribadi sekaligus temannya sejak dibangku kuliah tertawa. "Menikah? Seorang Biu menikah? Bicaralah dengan tembok."

"Memang kenapa? Aku sudah tua ya." Biu mendelik karena ejekan temannya itu terdengar menyebalkan. Memang apa yang salah dengan ia yang memimpikan pernikahan.

"Kau bahkan tidak bisa melakukan sex dengan orang yang sama dua kali, bagaimana bisa menikah? Kau mau melakukan semacam open relationship memangnya?"

Biu mengibaskan tangannya ke udara. "Itu hanya karena mereka sangat membosankan Lim. Aku hanya perlu bertemu dengan orang yang tepat."

Lim menghela nafasnya. "Kau juga mengatakan hal itu tahun lalu."

Biu kembali mencebik. "Hei, dengar dulu—"

"Juga dua tahun lalu." Sela Lim. "Tiga tahun lalu. Empat tahun lalu. Bahkan sepuluh tahun lalu ketika kita berada di semester pertama kuliah. Ingat itu tuan muda Puttha?"

"Cih." Biu melemparkan kertas ditangannya. "Kau membuat aku semakin lelah. Aku tercekik Lim, hampir mati di sini."

"Bukannya kau memang suka dicekik?" Lim kembali meledeknya. Membuat Biu mati kutu karena salah memilih kata sehingga mudah diputar balikan oleh kawannya itu. "Jangan banyak alasan. Cepat kita harus pergi untuk rapat direksi."

"Kenapa kak Bass tidak mengambil semua pekerjaan ini?" Bukannya bangun, Biu justru menelungkupkan kepalanya di atas meja. "Dia bisa mewarisi seluruh perusahaan keluarga kami dan membiarkan aku bebas seperti kak Bie."

"Kak Bie tidak dibebaskan begitu saja jika kau lupa, dia menikah dengan pengusaha kaya raya yang bisa menghidupinya." Ingatkan Lim untuk tidak memukul kepala temannya itu.

"Nah itu maksudku, kenapa aku tidak bertemu dengan pria seperti kakak ipar?"

"Kau mau kita membahasnya lagi?"

"Hah.." Biu menarik nafasnya panjang. "Sudahlah, kau pasti hanya akan memakiku. Lebih baik kita pergi untuk rapat sialan itu."

***

"Aku mohon, ya?" Puppy eyes sangat tidak cocok dengan perawakan Off yang tinggi besar. Pria yang telah dikenal Bible itu merenggek bak bayi. Menggelikan mendengarnya.

"Tidak." Bible masih tetap sama. Pria dua puluh enam tahun pemilik bengkel tua itu sama sekali tidak ingin ikut campur dengan drama yang dibuat temannya. "Kalau tidak mau, bilang tidak. Jangan membuat orang lain repot."

"Jahat sekali." Off berpura-pura terluka. "Membantu orang itu tidak ada salahnya."

"Orang? Kau buaya darat sialan." Mulut pedas temannya itu, Off ingin sekali menyumpalnya dengan ban bekas. Tetapi tidak bisa, sebab ia ingin meminta bantuan montir handal itu. "Tolonglah, Ble. Jika pacarku tahu orang tuaku menjodohkan aku, kami bisa bertengkar. Aku baru saja mendapatkan Gun, kau tahu itu, kan?"

Bible masih sibuk dengan pekerjaannya, wajah dan tubuhnya telah kotor oleh debu dan juga oli. Pekerjaan sebagai montir memang tidak gampang, ia harus berkonsentrasi. Kedatangan Off membuat ia menjadi lambat. "Pergi saja, aku tidak mau."

"Aku akan membayarmu." Off menempelkan tangannya satu sama lain, menggosoknya di depan dada. Memohon dengan sangat. "Aku akan membayarmu dengan tiket liburan. Tahun ini kau belum pergi ke berlibur, kan?"

Bible dan kebiasaan berliburnya memang tidak bisa dipisahkan. Jika ada yang bertanya ke mana uang yang ia hasilkan, maka pria itu akan dengan bangga menunjukan foto-foto indah yang ia abadikan saat berada di tempat yang dikunjunginya.

"Phuket." Bible menoleh pada Off. Akhirnya setelah mengabaikan pria itu berjam-jam. "Aku akan membantumu jika tiket yang kau maksud itu ke Phuket."

"Baiklah, aku akan belikan. Tapi besok kau harus benar-benar membuat wanita yang dijodohkan denganku muak."

"Urusan gampang. Tiket untuk minggu depan harus siap nanti malam."

"Nanti malam?"

"Atau aku tidak akan pergi menemui wanita itu."

"Baiklah, baiklah. Jangan mengancamku."

***

"CEO? Apa mereka sudah gila?" Biu melempar tas kerjanya begitu saja. Lim sudah memprediksi reaksi temannya itu.

Biu yang sebenarnya sangat anti terhadap jabatan, mau tidak mau harus menempati posisi sebagai CEO pada cabang bisnis kuliner keluarganya.

Sang ayah dan kakak tertuanya tidak punya pilihan selain memercayakan itu padanya. Lagi pula mereka tahu bahwa Biu sebenarnya mampu.

"Tidak cukup membuat aku bekerja di perusahaan ini selama tujuh tahun, kini aku akan dijadikan CEO?" Pria kecil itu merasa gerah, segera menengguk minuman dingin yang ada di ruangannya. "Benar-benar ayah dan kakakku, mereka ingin menyiksaku. Berapa lama lagi aku harus terjebak di perusahaan ini?"

Lim tidak berkomentar, situasinya terlalu panas untuk ia masuk. Asisten pribadi itu membiarkan tuannya berkeluh kesah. Biu pastilah kaget, tiba-tiba kenaikan jabatannya diumumkan tanpa pemberitahuan padanya.

"Semua orang tidak mengerti aku." Biu merebahkan tubuhnya di sofa, menutup matanya dengan tangan.
Menangis. Menangis keras. Untung saja ruangannya kedap suara.

Jika keluarga lain berebut harta, maka justru keluarga Puttha adalah sebaliknya.

Baik Bass, Bie dan Biu saling todong tidak ingin menjadi pewaris utama. Mereka ingin kehidupan bebas diluar sana.

Namun karena Bass adalah sulung, pria tiga puluh tujuh itu telah mengalah bertahun lalu, membiarkan dirinya menjadi tameng untuk kedua adiknya.

Bie memilih menikah dengan kekasihnya yang kaya, menghabiskan waktu sebagai ibu rumah tangga sosialita.

Lalu Biu, ia kira telah aman. Sayangnya langkah yang diambil ayahnya tanpa pemberitahuan atau persiapan.

"Aku tidak mau."

"Bagaimana kalau pergi berlibur?" Suara Lim bergema diantara tangis Biu.

"Apa?" Biu mengintip dibalik tangannya.

"Berlibur? Sebelum naik menjadi CEO, aku akan mengimirkan permintaan cuti untukmu. Kau bisa bersantai lebih dulu."

Biu bangun, duduk dengan kedua kaki terlipat. "Aku ingin ke paris." Pria itu menarik ingusnya.

Lim menyodorkan tisu yang langsung diterima tuannya. "Tidak bisa terlalu jauh."

"Kalau begitu Jepang?"

"Bagaimana kalau Phuket?"

"Kau bercanda Lim? Aku ingin keluar negeri."

"Tidak akan bisa. Sudah, aku urus liburanmu ke Phuket saja."

"Tidak mau."

"Kalau keluar negeri, kakak dan ayahmu tidak akan memberi izin. Menurut padaku, bukankah Phuket selalu menyenangkan?"

***

Halo 👋🏻👋🏻👋🏻
Siapa nunggu kebinalan Biu? Haha 🥰

TreffenWhere stories live. Discover now