Dari jendela lantai 16 salah satu apartemen kota New York, lampu-lampu kota New York tampak gemerlap. Dinda berdiri di dekat kaca jendelanya, menghentak-hentakkan kaki. Kesal menunggu. Di sebelahnya, Bella, anaknya yang masih balita asyik menonton baby shark di ipad sambil minum susu dari botol dotnya.
"Mana dia? Katanya habis pulang kerja mau ke sini!" Dinda melihat jam tangannya. Terlambat satu jam. Ia menyewa seorang baby sitter karena besok ia ikut business trip.
Dinda memang seorang single mother dan wanita karir. Ia menikah di usia yang amat muda. 20 tahun. Pernikahannya tidak berjalan lancar. Mantan suaminya hanyalah seorang bajingan yang memanfaatkannya untuk mencuri aset-aset bisnis keluarganya. Ia lalu bercerai saat baru beberapa hari melahirkan.
"Ini orang niat kerja nggak, sih? Telat, kok, sejam sendiri!" Dinda sangat jengkel harus menunggu. Ia sebenarnya lebih memilih menitipkan anaknya ke penitipan anak. Tinggal bayar, selesai. Tapi, kakaknya yang hobi ikut campur itu memaksa agar Bella punya baby sitter.
"Ribet banget punya kakak bawel nggak guna kayak abang gue! Udah numpang di apartemen gue, hobinya ngomel pula! Sok paham banget urusan ngasuh anak!" Dinda keluar ke balkon. Merokok. Jengkel. Ia memang tidak begitu peduli pada anaknya. Mungkin karena sejatinya ia belum siap menjadi ibu, atau karena balita itu mengingatkannya pada mantan suami brengseknya.
Ting... tong... bel apartemennya berbunyi. Dinda buru-buru membuka pintu.
"Oh Nessa! Akhirnya kamu dateng juga! Niat kerja nggak, sih?! Telat hampir satu jam sendiri!" Dinda langsung mengomel.
Nessa Anastasia, alias Cassie, ia memang mendaftar menjadi pengasuh bayi. Tidak banyak pilihan pekerjaan sebagai buron. Ia terengah-engah. "Maaf, saya terlambat! Maaf!"
Dinda berdecak. Kesal. Ia menghembuskan rokok secara kasar ke udara. Ia mengamati penampilan Cassie yang memakai dress merah pendek, dibalut jaket kumal. Dinda jadi ragu. Dia ini baby sitter atau cewek panggilan?
"Emm... maaf saya baru selesai kerja. Saya jualan minuman. Saya belum sempat ganti baju tadi!" kata Cassie, merasa malu dengan dress seksi Hoppy drink dan jaket curiannya.
Dinda menghela napas. "Ya udah, masuk!" Ia tidak peduli. Ia menyuruh Cassie masuk. Tapi tiba-tiba ia menginjak potongan lego yang tercecer di lantai. "Aaaa... sakit! Bellaaaa! Aduuuh... kamu mainan nggak diberesin! Dasar anak nakal! Bodoh kamu!" Dinda mengomel.
Bella, balita itu mengamati mamanya dengan takut. Ia diam menunduk. Cassie juga takut. Sepertinya Dinda ini benar-benar tidak peduli anaknya. Ibu mana yang merokok di depan anak balitanya? Cassie segera memunguti ceceran mainan di lantai dan memasukkannya ke dalam box, cari muka biar dipekerjakan.
"Besok kamu jagain Bella dua hari, dan nginep di sini satu malem, ya!" perintah Dinda.
"Baik!" Cassie mengangguk sambil memasukkan potongan terakhir lego ke dalam box.
"Oya, kakak saya numpang tinggal di sini. Kamarnya itu di pojok!" Dinda menunjuk pintu paling ujung. "Jangan bolehin dia bawa pacarnya ke sini! Pokoknya suruh aja dia pacaran di luar! Apalagi pacar bulenya itu barbar banget."
"Oh... Baik!" Cassie mengangguk. "Oya, ada larangan makanan atau obat buat Bella?"
"Nggak ada. Sama aja kayak anak lainnya!" Dinda berkata cuek. "Oke. Besok, kamu ke sini jam 7 pagi, ya! Gaji saya transfer di hari terakhir. Dan, oya kalau kakak saya godain kamu, bunuh aja! Usir! Bahkan saya akan kasih bonus kalau kamu bisa bunuh dia beneran!"
"Hah? O...ya. Baik..." Cassie heran. Sepertinya dua bersaudara itu hubungannya lebih ruwet dari Tom and Jerry.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
New York in Love
Teen FictionNessa alias Cassie, jago bela diri, jago menembak, dan sangat independen. Ia kini tinggal di New York, untuk melupakan kisah cintanya yang sangat menyedihkan di tanah air. Lalu, suatu ketika ia bertemu musuh lamanya yang membuatnya terancam dan jadi...