The Knife

86 14 0
                                    




Cassandra Helen. Alias Cassie. Alias Nessa. Ia menjadi buron karena membunuh Robby, bosnya di kantor firma detektif yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Ketika usia 10 tahun, ayah kandungnya terbunuh secara misterius. Robby, sahabat ayahnya, mendatangi Cassie dan mengaku tahu siapa si pembunuh itu. Robby berjanji akan membantu Cassie balas dendam. Karena itulah Cassie bersedia ikut tinggal dan menjadi anak didik Robby.

Dibawah asuhan Robby, Cassie bersama tiga anak lainnya dididik dengan keras. Mereka dilatih bela diri dan menembak. Robby juga menyekolahkan mereka ke luar negeri, hingga mereka menjadi yang terbaik di bidang masing-masing. Ada yang ahli di bidang IT, hukum peradilan, strategi berperang, dan Cassie menjadi dokter spesialis bedah syaraf.

Di firma detektif milik Robby itu, Robby terus menjanjikan misi balas dendam. Membuat Cassie begitu setia dan menganggap Robby seperti ayahnya sendiri. Tapi ironisnya, akhirnya Cassie tahu jika ternyata Robby sendirilah pembunuh ayahnya. Merasa dibohongi, Cassie menembak mati Robby. Itulah kenapa ia kini berstatus buron. Ia terbang ke New York untuk bersembunyi, sekaligus untuk menenangkan diri atas kisah cinta tragisnya bersama Erik...

******

Hari itu Dinda sudah pulang dari business trip-nya sehingga Cassie tidak lagi menjaga Bella. Maka sore itu, Cassie mulai bekerja lagi di club. Tapi, terjadi sebuah kehebohan di depan club itu. Apa lagi ini?

Cassie yang baru saja turun dari bus dan masih memakai mantel panjang serta sepatu boots, berhenti sejenak. Rupanya itu laki-laki Latin yang ia hajar tempo hari. Si Latin itu sudah keluar dari rumah sakit. Dengan kaki masih pincang, si Latin itu datang bersama bodyguard-nya membuat heboh club. Ia memarahi wanita bule kemarin.

"Madelaine, you idiot! You never work well! (Lo bodoh! Lo nggak pernah kerja bener!)" si Latin itu menampar Madelaine yang memakai dress penuh glitter. Wanita itu sudah sangat ketakutan. Apalagi si Latin itu kemudian menjambak dan menyeretnya, hingga melewati Cassie yang masih berdiri di pinggir jalan.

"Help me!" Madelaine menatap Cassie. Ia berkata pelan dengan gerak bibir. Tak berdaya. Ia dijejalkan ke dalam sebuah mobil Van secara paksa, seperti melempar sekarung gandum.

Cassie melihatnya dengan iba. Mau diapakan wanita itu? Ia benci sekali melihat seorang wanita dianiaya seperti itu. Lantas, segera saja Cassie meminjam motor delivery milik club dan membuntuti mobil Van itu.

Dion diam-diam juga mengikuti kemana Cassie pergi. Ya, Ia memang berencana memata-matai Cassie. Ia membelah jalanan dengan mobilnya, tak jauh di belakang motor Cassie.

Lantas, mobil Van milik laki-laki Latin itu berhenti di sebuah bangunan bekas pabrik tua di tengah hutan. Cassie menghentikan motornya jauh-jauh. Ia bersembunyi dan mengambil pisau yang selalu ia selipkan di sepatu bootsnya.

"Please, let me go!" Madelaine meronta ketika dijambak dan diseret keluar dari mobil.

Cassie sungguh tidak tega. Ia menatap kasihan. Ia mulai mengendap-endap mengikuti ke mana Madelaine dibawa. Sedangkan di belakangnya, tanpa ia sadari Dion juga mengikuti.

"You stole my money! You little brat! (Lo nyuri duit gue! Lo sialan!)" Si bule Latin itu berteriak sambil mendorong Madelaine ke sudut ruangan. Ia menendangi Madelaine.

"I didn't! Really! (Aku nggak nyuri. Beneran!)" Madelaine menangis ketakutan.

"You lie! Tell me whom you work for! (Bohong! Ngaku Lo kerja buat siapa?)"

Bule Latin dan bodyguard-nya semakin marah. Mereka terus menendangi Madelaine, hingga Madelaine terkapar dan wajahnya telah berdarah-darah.

Cassie benar-benar tidak tahan lagi. Dari tempat persembunyiannya, ia berancang-ancang, ia melemparkan pisaunya lurus-lurus hingga menancap ke punggung si bodyguard.

"Aaaaa!" Bodyguard itu mengerang kesakitan. Ia berhenti menendangi Madelaine dan kaget ada sebuah pisau menancap di punggungnya.

"Shit! Who is that? (Sialan! Siapa itu?)" Si Latin juga kaget. Ia melihat ke sekeliling. Ia menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Waspada.

"Aaaaa... Boss! Help me!" Si bodyguard berteriak kesakitan saat mencabut pisau itu dari punggungnya.

"Shut up!" Si Latin tidak peduli dan menyuruh si bodyguard berhenti berteriak. Ia harus waspada. Ia kembali menajamkan pendengarannya.

Cassie lalu melemparkan koin dari saku jaketnya ke seberang ruangan, untuk mengalihkan perhatian mereka. Lantas saat dua orang itu menoleh ke arah jatuhnya koin, Cassie segera keluar dan mengambil sebongkah pipa besi di ruangan itu. Ia pukul punggung kedua orang itu keras-keras. Keduanya segera terjatuh.

"You? Hey, I know you! You are the beer seller! (Lo? Gue tahu siapa lo! Penjual minuman itu!)" Si Latin itu rupanya masih ingat wajah Cassie. "I kill you! (Gue bunuh lo!)"

Cassie tidak takut. Si Latin itu masih pincang, sedangkan si bodyguard  sudah tertusuk pisau. Maka, keduanya tidak akan bisa leluasa bergerak.

"Lo yang mati!" teriak Cassie. Ia terus melawan. Sialnya, dari belakang si bodyguard memukul punggung Cassie dengan besi. Cassie langsung terhuyung jatuh kesakitan.

Dion yang melihat, tentu tidak tega. Ia hendak keluar dan membantu melawan, tapi Cassie bisa bangkit berdiri dengan cepat. Cassie merebut pisaunya, lalu dengan sisa tenaganya ia melawan dua laki-laki itu. Penuh amarah, penuh dendam. Ia benci laki-laki yang suka berbuat kasar pada perempuan.

"Lo! Mati lo! Jangan pernah berlaku kasar ke perempuan! Setan!" Cassie terus meninju, menendang, dan menusuk kedua laki-laki itu dengan kemarahan luar biasa, hingga ia tidak sadar jika ia telah berkali-kali menusuk tubuh mereka yang ternyata telah ... tak bernyawa.

"Enough. They are dead. (Cukup. Mereka udah mati)." Madelaine menarik Cassie agar berhenti melakukan penusukan.

Cassie berhenti. Terengah-engah. Ia seperti kerasukan. Ia melihat jasad kedua laki-laki itu yang telah bersimbah darah. Perut mereka terbelah menganga setelah berkali-kali terkena pisau.

Cassie terkejut dengan apa yang telah ia lakukan. Ia mengangkat kedua tangannya. Penuh darah. Lagi-lagi, ia membunuh manusia. Ia menelan ludah. Sepertinya ia memang tidak akan pernah bisa lepas dari label pembunuh.

"We have to go! (Kita harus pergi!)" Madelaine membantu Cassie berdiri. Mereka lalu meninggalkan bangunan pabrik itu dengan saling tertatih.

Di kejauhan, Dion masih terdiam. Beku. Apa yang terjadi barusan adalah sepuluh menit paling mencekam dalam hidupnya. Ia, yang hanya seorang warga sipil biasa, tidak pernah melihat sebuah aksi pembunuhan. Dan baru saja ia menyaksikan Cassie begitu tak terkendali, berkali-kali menusuk orang yang sudah jelas-jelas tak bernyawa, hingga darah orang tersebut terciprat ke wajah Cassie. Sebuah pembunuhan sadis berdarah-darah.

Dion tiba-tiba merasa mual. Ia berjongkok dan memuntahkan seluruh isi perutnya hingga tubuhnya dingin. Bau anyir darah kedua orang itu membuatnya mual. Ia bergidik ngeri. Jadi betul Nessa adalah Cassie si dokter pembunuh itu? Dion masih tidak percaya. Kenapa perempuan itu bisa sangat tega menusuk manusia seperti halnya menyembelih hewan ternak? Bukankah ia seorang dokter yang seharusnya menyelamatkan nyawa manusia?

New York in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang