Satu pekan kemudian. Malam hari. Cassie berdiri di depan gedung BCJ. Kondisi luka tembaknya sudah mulai membaik. Maka, ia segera menyusup ke gedung BCJ. Tekadnya sudah bulat. Jordan harus mati di tangannya. Toh, ia memang seorang pembunuh. Jadi, ini sudah menjadi tugasnya.
Mengendap-endap, dengan sepatu bots, jaket kulit, dan topi hitam, ia melewati satu per satu ruangan di gedung itu. Ia telah mengikuti Jordan seharian ini, dan ia lihat Jordan masuk ke gedung BCJ beberapa menit lalu. Jadi, ia hanya perlu membuntuti Jordan, dan menyuntikkan cairan roculax dosis tinggi. Obat yang sama dengan yang Jordan gunakan untuk membunuh.
"Erik, biarin gue membunuh sekali lagi! Karena orang itu emang layak mati!" Cassie melepas cincinnya dan menatapnya. "I love you, Erik!" Ia mencium cincin itu dan memasukkannya ke saku celana. Cincin itu terlalu besar di jari manisnya. Ia takut cincin itu justru hilang.
Lantas, Cassie segera memasuki lift. Dan tak berapa lama kemudian, ting... pintu lift terbuka. Cassie segera keluar.
"Hey, you!" Seorang penjaga di dekat lift melihat kedatangan Cassie.
Cassie buru-buru mengeluarkan alat setrumnya dan menempelkannya ke leher orang itu.
"Mmmph!" Orang itu berteriak, tapi segera Cassie bekap dengan tangan.
"Ssssst!" Cassie menahan tubuh orang itu yang mulai ambruk, pingsan perlahan-lahan. Ia ikat tangan dan kaki orang itu serta ia lakban mulutnya. Aman.
Cassie melihat ke sekeliling. Tadi ia lihat di nomor lift jika Jordan berhenti di lantai ini. Tapi ke ruangan sebelah mana? Ia tidak tahu ruangan-ruangan di gedung BCJ. Ini pertama kalinya ia menyusup ke sini. Gila memang. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan ia datang ke BCJ tanpa persiapan. Nekat sekali. Biar saja. Ia sudah muak dengan Jordan.
Lantas, Cassie menyusuri area barat gedung. Ia lihat ada dua penjaga di depan kantor itu. Kali ini Ia langsung melempar gas bius ke arah dua penjaga itu. Seketika lorong itu pekat penuh gas dan Cassie segera memakai masker respirator.
Kedua penjaga itu langsung pusing dan akhirnya tumbang. Cassie segera mengikat mereka dan juga melakban mulut mereka. Aman.
Cassie melihat ke sekeliling, mencari keberadaan Jordan. Dan... itu dia. Akhirnya ia melihat satu-satunya ruangan dengan lampu meja yang masih menyala. Ada Jordan di sana dengan satu pengawalnya. Cassie mendekat, dan mencari akal untuk mengalihkan perhatian pengawal itu.
Cassie lantas mengatur alarm jam tangannya, lalu melempar jam tangannya jauh-jauh ke lorong ruangan. Satu menit kemudian, alarm jam tangan itu berbunyi. Membuat si pengawal bertanya-tanya kenapa ada bunyi alarm jam.
Pengawal itu segera keluar ruangan mengecek. Di saat itulah Cassie segera masuk ke ruangan, dan mengacungkan jarum suntik ke arah leher Jordan. Tapi sial, Jordan bukanlah orang bodoh. Ia sudah terlatih dalam kondisi siaga. Pergerakan sekecil apa pun ia bisa mendengar. Laki-laki itu segera bermanuver.
"Cassie! Berani-beraninya kamu datang ke sini!" Jordan berhasil menghindar dan balik mencekik Cassie ke dinding.
"Lo harus mati di tangan gue!" Cassie terus berusaha melawan serta menyuntikkan jarum itu ke leher Jordan. Tapi, sungguh Jordan bukan tandingannya. Apalagi Cassie masih dalam kondisi penyembuhan.
"Kamu tidak akan bisa membunuh saya, Cassie!" Jordan tertawa. Ia ingat luka tembak di perut Cassie dan ia menekan perut Cassie, tepat di luka tembak itu.
"Aaaaaa!" Cassie kesakitan. Jarum suntik yang ia genggam terjatuh, dan Jordan segera mengambilnya untuk meracuni Cassie.
"Kamu yang akan mati, Cassie!" Jordan bersiap menusukkan jarum itu pada Cassie, tapi tiba-tiba...
KAMU SEDANG MEMBACA
New York in Love
Teen FictionNessa alias Cassie, jago bela diri, jago menembak, dan sangat independen. Ia kini tinggal di New York, untuk melupakan kisah cintanya yang sangat menyedihkan di tanah air. Lalu, suatu ketika ia bertemu musuh lamanya yang membuatnya terancam dan jadi...