Dion menggendong Cassie ke kamarnya. Untungnya Bella sudah tidur. Dion segera membaringkan Cassie di ranjangnya. Ia atur suhu ruangan, dan ia lepas sepatu Cassie. Lantas, saat ia menyelimutinya, tiba-tiba Cassie membuka mata."Nessa? Lo udah sadar? Lo masih pusing?" tanya Dion. Ia memegang kening Cassie. Masih dingin. Sangat dingin.
Cassie menatap Dion dengan tatapan kosong. "Erik..." Ia berhalusinasi..
"Erik?" Dion bingung. Ia tiba-tiba teringat nama yang terukir di cincin itu. Cassie & Erik. Jadi, Cassie sedang menghayalkan Erik? Suaminya?
"Erik..." Cassie kembali memanggil lirih.
"Gue... gue... Dion... bukan Erik."
"Erik..." kali ini Cassie menarik tangan Dion.
"Nessa, ini... ini gue Dion! Nessa, sadar, dong!" Dion menepuk-nepuk pipi Cassie.
Lalu tiba-tiba Cassie menangis. "Erik... Jangan tinggalin gue! Gue takut sendirian!"
Dion mengerjap-ngerjapkan mata. Entah separah itu pengaruh obat anti depresan, atau sedalam itu cinta wanita ini pada Erik hingga Cassie berhalusinasi mengira Dion adalah Erik.
"Erik... gue takut!" Cassie menangis terisak-isak dan menggenggam tangan Dion.
Dion tidak tega. Ia membelai pipi Cassie yang pucat. "Lo takut apa?"
"Erik..." Cassie menangis dan terus menggenggam tangan Dion. "Jangan tinggalin gue!"
Dion menyeka air mata Cassie. "Ya... ini... ini gue Erik!" Dion tiba-tiba mengaku sebagai Erik. Ia rasa itu satu-satunya cara untuk menenangkan Cassie. "Gue... Gue Erik, ada di sini. Lo nggak sendirian! Jangan takut lagi, oke!"
Dion benar-benar khawatir, bingung, dan tidak tega. Seorang Cassie yang seorang pembunuh ternyata juga bisa terlihat lemah seperti anak kecil rapuh begini.
"Oh... Cassie... lo kenapa?" Dion tidak memanggil Cassie dengan nama Nessa lagi. Ia benar-benar kasihan. Ia naik ke ranjang dan berbaring memeluk Cassie.
Cassie terus menangis. Ia berulang kali bergumam tidak jelas. Ia terus berkata jika ia ketakutan dan memohon agar Erik tidak meninggalkannya. Dion mendekapnya lebih erat.
"Erik... jangan tinggalin gue! Gue takut..." kata Cassie menangis di dada Dion.
"Cassie, lo takut apa?" tanya Dion.
Cassie berbicara tidak jelas. "Orang itu... orang jahat itu!"
"Siapa?"
"Orang itu... Danny!"
"Danny?" Dion mengerutkan kening. Berpikir. "Danny? Siapa Danny?"
Cassie tidak menjawab dan hanya menangis.
"Cassie, ada gue di sini. Erik. Gue Erik ada di sini. Lo nggak perlu takut!" Dion terus mengaku menjadi Erik agar Cassie bersedia bicara. "Kenapa lo takut sama Danny? Siapa dia?"
Cassie tidak bisa menjawab. Perempuan itu hanya menangis. Ketakutan yang ia alami terlalu dalam, bahkan sekadar mengatakannya saja ia takut dan trauma.
Dion melepaskan pelukannya, dan memegang kedua pipi Cassie. "Cassie, please izinin gue bantu lo. Lo harus cerita kenapa lo takut sama Danny? Biar gue bisa bantu lo!"
Cassie menggeleng. Ia tidak bisa bercerita. Baginya hal itu adalah aib yang traumatis. Bahkan ketika Erik masih hidup pun ia tidak pernah menceritakannya kepada Erik. Ia memendam hal itu sendirian. Sampai detik ini. Tidak ada satu orang pun yang tahu.
Dion menghela napas. "It's okay, kalau lo nggak mau cerita. Lo bisa cerita kapan pun lo siap. Oke?" Dion menghapus air mata Cassie.
Cassie mengangguk. "Erik... jangan tinggalin gue. Gue takut!"
Dion mengecup kening Cassie, seperti saat mencium Bella yang menangis. "Ya. Gue Erik. Gue nggak akan ninggalin lo." Dion kembali mengaku sebagai Erik agar Cassie tenang. Ia sungguh tidak tega melihat Cassie begitu rapuh.
Tapi ngomong-ngomong, di mana Erik? Kenapa laki-laki itu meninggalkan Cassie sendirian?
******
KAMU SEDANG MEMBACA
New York in Love
Teen FictionNessa alias Cassie, jago bela diri, jago menembak, dan sangat independen. Ia kini tinggal di New York, untuk melupakan kisah cintanya yang sangat menyedihkan di tanah air. Lalu, suatu ketika ia bertemu musuh lamanya yang membuatnya terancam dan jadi...