Her Smile

86 11 10
                                    

New York. Menjelang matahari terbit.

Cassie tidak bisa tidur semalaman. Bagaimana bisa tidur? Seluruh harta di brankasnya dicuri. Padahal dengan status buronnya—apalagi ia baru saja membunuh dua orang—ia harus siap kapan saja kabur ke luar negeri. Dan itu semua membutuhkan uang.

Untungnya, hari itu ponsel Cassie berdering. Dari Dinda. Ibunya Bella.

"Kamu bisa jagain Bella hari ini? Cuma sampai jam 7 malem aja. Saya ada meeting."

"Oya, bisa!" Cassie langsung mengiyakan. Ia butuh uang. Setidaknya untuk makan.

Maka, ia segera menuju ke apartemen Dinda. Dan sesampainya di apartemen itu, ia segera bertemu Dion yang membukakan pintu sambil menggendong Bella.

"Nessa! Lo... dateng ke sini?" Dion kaget.

Cassie mengangguk. "Iya. Dinda nelepon gue barusan."

Dion melihat Cassie. Perempuan itu tampak pucat dan kurang tidur. Apakah Cassie tidak bisa tidur semalam karena menghabisi nyawa dua orang itu?

"Gue boleh masuk?" tanya Cassie, saat Dion hanya diam saja.

"Oh... ya, sori. Masuk!"

Dion terus mengamati. Ia tidak percaya wanita yang tampak biasa saja itu tega membunuh manusia. Dan lebih bodohnya lagi, ia tahu hal itu tapi tetap mengizinkan wanita itu bekerja sebagai pengasuh keponakannya. Sungguh tidak ada yang aneh pada Cassie. Cassie mengurus Bella, membereskan mainannya, bahkan memasakkan sup ayam untuk Bella.

"Lo... masak?" Dion datang ke dapur dan melihat Cassie memasak.

Cassie memang sengaja memasak untuk mencari kesibukan karena Bella sudah tidur. Ia rasa ia harus terus sibuk, agar pikirannya tenang. Kalau tidak, ia harus minum obat anti depresan lagi. Padahal kemarin ia sudah minum lima pil, melebihi batas hariannya.

"Dion, cobain, deh! Ini kurang apa?" Cassie menyuapkan sesendok kuah sup pada Dion.

Dion yang biasanya ekstrovert dan usil, tiba-tiba merasa kaku di depan Cassie. Tapi, ia tetap menerima suapan itu. "Hmm... tadi lo kasih kemiri, nggak?"

"Kemiri? Masak sup musti pake kemiri? Bukannya cuma bawang merah, bawang putih, kaldu bubuk sama merica aja?"

"Hmm... gue lebih suka pakai kemiri, sih!" kata Dion. Sering di rumah menjaga Bella, ia kadang juga memasak dan meniru resep dari internet. Ia lalu menambahkan kemiri bubuk setengah sendok teh. "Nih, cobain."

Cassie mencicipinya. "Hmm... iya enak!" katanya terkejut. Ia menoleh pada Dion dengan mata berbinar. "Iya! Ini enak banget! Rasanya pas!" katanya tersenyum, membuat Dion heran.

"Ya di mana-mana sup ayam emang begini rasanya, kan?"

"Enggak! Ini kayak resep sup jaman dulu!" Cassie mencicipi sekali lagi.

Dion masih heran. Ia rasa ini pertama kalinya ia melihat Cassie begitu ceria. Bahkan, seingatnya ini pertama kalinya Cassie tersenyum. Ya. Ini pertama kalinya Dion melihat senyum perempuan itu.

"Hmm... ini beneran enak!" Cassie menyendok lagi. Ia memakan sepotong kentang di sup itu. Ia mengunyah dengan ceria. Seperti anak kecil yang memakan menu kesukaannya. Tiba-tiba atmosfer ruangan terasa hidup. Langit kelabu di luar sana mendadak cerah.

"Dulu bibi di Griya Asuh jago banget kalau bikin sup ayam!" Cassie tiba-tiba bercerita tentang masa kecilnya. "Ini menu paling mewah di panti asuhan itu!"

Griya Asuh? Panti asuhan? Dion tentu tertarik. Ia selalu ingin tahu masa lalu Cassie.

"Kayak gimana rasa supnya? Enak? Persis kayak gini?" pancing Dion.

"He-em!" Cassie mengangguk, masih dengan senyum cerianya. "Bibi itu juga satu-satunya orang yang baik di sana. Dia selalu senyum, nggak kayak yang lainnya."

"Emang yang lain jahat ke kamu?" Dion tanpa sadar menggunakan aksen aku-kamu. Ia tiba-tiba merasa seperti sedang berbicara dengan anak kecil.

"Iya. Cuma bibi aja yang ramah," jawab Cassie. Ia bercerita sambil memberesi berbagai bumbu di meja dapur. "Yang lainnya jahat. Apalagi anak pemilik panti asuhan itu. Jahat banget. Karena dia..."

nyaris memperkosa gue. Cassie tiba-tiba ingat kisah kelam masa lalunya. Kisah yang membuatnya trauma dan kehilangan keceriaan masa kecilnya. Ia berhenti beres-beres. Mematung.

Dion melihat Cassie melamun. Ia menepuk pundak Cassie. "Nessa?" panggilnya.

Cassie tersadar. Bodoh! Ia sadar jika sudah terlalu banyak bercerita tentang dirinya. Kenapa ia jadi secerewet ini? Apa karena pengaruh obat anti depresan? Atau karena ia sangat kesepian, lantas sekarang saat ada yang mau mendengar ceritanya ia jadi banyak bicara begini? Ah.... Bodoh!

"Gue buang sampah dulu! Keburu petugasnya pergi!" Cassie menutup rak bumbu. Senyumnya hilang. Ia kembali menjadi Cassie yang biasanya. Dingin, dan tidak tersenyum.

"Gue aja yang buang sampah! Lo makan aja. Katanya lo suka!" Dion menahan tangan Cassie.

Cassie menampik tangan Dion. "Gue aja. Gue buang sampah dulu ke bawah!" Ia segera membawa plastik sampah ke bawah. Menghindar, agar Dion tidak banyak bertanya.

Dion mengamati kepergian Cassie. Baru sebentar ia melihat Cassie tertawa dan bercerita tanpa beban, sekarang wanita itu sudah pergi. Padahal Dion suka sekali melihat tawa itu. Apalagi saat ia tahu jika bibir wanita itu jadi semakin tipis tiap kali tertawa. Manis sekali.

"Gue masih pengen denger ceritanya," gumam Dion. Tiba-tiba hatinya kosong. Kenapa senyum ceria itu hanya muncul sebentar sekali? Apa yang terjadi di panti asuhan itu? Apakah sesuatu yang buruk hingga membuat senyum itu hilang? Andai Dion bisa tahu...

*******

New York in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang