Broken Tears

58 4 0
                                    

Tengah malam itu, Bara mengantar Cassie ke apartemennya setelah mereka menemui klien asal Rusia yang sedang Bara kerjakan.

"Bara, kamu nggak perlu nganter saya sampai atas. Apartemen saya nggak ada lift nya. Kamu harus naik tangga sampai lantai tiga!" kata Cassie.

"Nggak apa-apa. Saya pengen lihat Zizi kura-kura yang kamu bilang bikin kamu selalu ngerasa deket sama Erik! Saya juga punya peliharaan kucing, yang dulu saya beli bareng Alisa. "

"Hmm... Oke, deh!" Cassie selalu tidak bisa menolak jika itu terkait kenangan bersama Erik. Ia merasa seperti ada orang lain yang juga menganggap Erik masih hidup.

Keduanya pun naik ke apartemen Cassie, dan betapa terkejutnya mereka saat melihat ada Dion menunggu di depan pintu apartemen Cassie.

"Dion!" Cassie kaget.

Dion yang sedari tadi duduk di lantai bersandar pada pintu, bangkit berdiri. Ia semakin khawatir—dan juga marah terbakar cemburu—melihat Bara bahkan mengantar Cassie hingga ke depan pintu apartemennya.

"Bar, lo ngapain ngajakin pergi Nessa sampai malem banget, bahkan nganterin Nessa sampai ke depan pintu apartemen gini?" Dion langsung meninggikan nada suaranya, memecah kesunyian gedung apartemen kuno nan sepi yang Cassie huni.

Bara jelas kaget karena Dion menegurnya, "Ya gue, kan, udah bilang kalau gue ngajak Nessa ketemu klien!"

"Barusan Gue telepon klien dan dia bilang kalau meeting kalian udah kelar dari jam 8 malem tadi. Jadi habis itu kalian ngapain aja?!"

Cassie risih sekali dengan pertanyaan Dion. Ia rasa Dion hanya cemburu tak berdasar. Ia langsung memprotes, "Dion lo apa-apaan sih nginterogasi gue sama Bara. Kami bukan anak kecil lagi. Lagian selama urusan sama klien beres, nggak masalah dong kami mau jalan ke mana!"

Dion menatap Cassie. Cassie benar-benar tidak tahu apa yang sedang ia hadapi. Dion langsung ambil tindakan.

"Pokoknya, mulai sekarang, Nessa lo nggak perlu gabung di tim ini lagi. Gue sebagai CEO punya hak buat berhentiin kontrak kerja secara sepihak. Gue transfer bayaran lo sekarang juga!"

"Apa?" Cassie jelas tidak terima. "Lo apa-apaan sih? Alasan lo apa berhentiin gue?"

"Alasan gue, karena lo nggak bener-bener dibutuhkan di tim ini. Urusan translator, kita bisa pakai aplikasi. Lebih hemat, nggak usah bayar orang!" Dion tegas memecat Cassie agar Bara tidak bisa lagi mendekati Cassie.

Cassie geram sekali. Perjanjiannya dengan Dion di awal adalah ia menjadi translator hanya sebagai alasan ia bergabung di tim ini. Tujuan utamanya adalah karena ia punya dendam yang sama kepada Jordan. Tapi sekarang Dion justru memecatnya. Ia yakin alasan Dion pasti semata-mata hanya karena cemburu.

"Dion, lo jangan kekanak-kanakan. Alasan lo nggak masuk akal!" Protes Cassie. "Lo nggak profesional! Sebutin alasan yang logis, baru gue bisa terima keputusan lo mecat gue!"

"Ya itu tadi! Itu udah alasan paling logis. Mendingan pakai aplikasi daripada bayar lo mahal-mahal! Di mana-mana juga sekarang perusahaan mulai beralih ke teknologi daripada punya karyawan! Itu udah alasan logis!"

Cassie menggeleng. "Gue yakin bukan itu alesan lo! Lo cuma anak papi manja, kakanak-kanakan, labil, dan keputusan lo ini impulsif! Lo sebenernya nggak suka, kan, lihat gue sering pergi sama Bara! Cuma itu, kan, alesan lo?!"

Dion menatap Cassie. Ya ia hanya anak papi manja. Jadi sekalian saja ia bertingkah kekanak-kanakan.

"Ya, gue nggak suka lihat lo jalan sama Bara! Gue cemburu. Puas?!" Dion mengaku dengan lantang. Jantungnya cukup berdebar ketika mengucapkannya. "Nessa, Gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Gue pengen selalu ada buat lo. Gue pengen jagain lo. Gue pengen ngelindungin lo. Gue pengen bisa denger banyak cerita tentang lo. Gue pengen gantiin posisi Erik di hati lo!"

New York in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang