Self Defense

25 3 0
                                    




New York. Pagi hari. Cahaya matahari tampak menyinari sedikit ruangan mungil itu. Cassie terus merawat Dion, karena bagaimanapun kondisi Dion menjadi separah ini karena menyelamatkannya.

Menjelang siang, Dion membuka matanya perlahan. Ia melihat Cassie mengganti infusnya dengan infus yang baru.

"Cassie..." kata Dion lemah.

"Dion!" Cassie memekik lega ketika Dion berhasil sadar. "Dion, lo bisa denger gue?"

Dion mengangguk. Ia berujar pelan, "Dinda? Bella?"

"Bella ada di sini." Cassie menunjuk Bella yang masih tidur memeluk boneka gajahnya. "Dinda semalem mabuk dan marah-marah bikin Bella takut. Jadi gue jemput Bella. Tapi pengawal Lo masih jagain Dinda. Tiap jam mereka rutin kirim laporan kondisi Dinda ke HP lo!"

Dion menghela napas. Ia tidak kaget dengan perilaku adiknya.

"Seenggaknya Dinda sama Bella baik-baik aja," kata Dion lemah.

Cassie sedikit terenyuh. Dion begitu peduli pada adik dan keponakannya. Bahkan ia sampai sejauh ini mencari celah kejahatan BCJ untuk menghancurkan Jordan, orang yang telah merusak hidup adiknya. Beruntung sekali Dinda bisa memiliki kakak seperti Dion.

"Cassie..."

"Ya?"

"Gue minta maaf," kata Dion.

Cassie mendengarkan.

Dion melanjutkan, "Maaf kemarin gue dengan kasar bilang Erik udah meninggal. Gue sengaja bilang gitu biar Lo keluar dari tim. Biar Bara nggak bisa nemuin Lo lagi dan identitas Lo aman dari Bara."

Cassie terhenyak mendengar penjelasan Dion. Ternyata Dion sudah merencanakannya dari awal.

Dion melanjutkan, "Gue tahu betul rasa kehilangan Lo. Bokap gue pun pasca dua belas tahun nyokap gue meninggal sampai sekarang juga nggak menikah lagi, karena bokap mau menghargai nyokap gue. Jadi gue tahu betul perasaan Lo. Maaf, ya, gue udah ngomong kasar tentang Erik kemarin."

Cassie sedikit berkaca-kaca. Ia mengangguk. Ia melihat ketulusan di mata Dion.

"Ya udah, lo istirahat lagi. Kondisi lo belum sembuh total!" Cassie merapikan selimut Dion.

Dion mematuhinya dan kembali memejamkan mata. Tubuhnya masih sangat lemah...

*****


Beberapa hari kemudian kondisi Dion sudah semakin membaik. Dengan masih sedikit pucat, ia berjalan keluar kamar dan dilihatnya Cassie di ruang tengah sedang mengepak koper.

"Lo mau pergi?"

Cassie menoleh. Ia terkejut melihat Dion sudah bisa bangun. "Lo udah bangun? Gimana kondisi lo?  Masih pusing? Demam?"

Dion tidak menjawab. Ia melihat secarik tiket kapal menuju Rusia yang dijadwalkan dini hari esok.

"Lo mau kabur ke luar negeri?" tanya Dion.

Cassie menghela napas. "Nggak ada gunanya gue di sini. Gue nggak sanggup ketemu Bara. Gue akan selalu inget dosa gue atas Alisa."

Dion tidak suka dengan keputusan Cassie. "Terus, lo nggak ada rasa terima kasih ke gue? Lo nggak inget kondisi gue makin parah gini gara-gara nyelametin Lo? Lo lupa lo berhutang nyawa ke gue?"

Cassie menatap Dion. Tidak habis pikir. Ia berdecak. "Ngelihat Lo udah bisa nyudutin gue gini, Lo udah baik-baik aja. Tinggal istirahat sebentar juga besok Lo udah bisa aktivitas lagi! Nggak usah manja!" Cassie kembali sibuk menata kopernya.

Dion langsung kesal. Cassie seperti kabur begitu saja dari masalah. Marah, Dion tiba-tiba saja merobek tiket kapal itu.

"Dion!" Cassie berteriak marah dan memungut potongan kertas tiket itu. "Berani-beraninya Lo nyobek tiket gue! Lo tahu, Ini susah dapetinnya! Gue harus ketemu bandar-bandar buat dapetin tiket tanpa syarat paspor-visa ini!"

New York in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang