Dion melihat Dinda terus menangis dan tampak putus asa begitu tahu Bella diculik. Bagaimanapun, walaupun bukan sosok ibu yang baik, tapi Dinda tetap mengkhawatirkan Bella. Dan ia menyalahkan Dion karena teledor tidak mengunci pintu. Padahal seingat Dion, ia sudah mengunci pintu.Hingga pukul 05.00 pagi, belum ada kabar apa pun. Dion telah menelepon polisi, tapi polisi menyuruhnya menunggu 24 jam. Sebelum 24 jam, Bella belum bisa dinyatakan hilang. Maka, ia hendak menyewa detektif untuk mencari ke mana Bella hilang. Ia keluar apartemen, tapi saat ia keluar dari lift, tiba-tiba sekuriti apartemen datang menggendong Bella.
"Bella!" Dion sangat kaget bercampur lega.
"Om Yoyon!" Bella langsung berlari ke arah Dion.
"Bella! Astaga... oh God! Thanks God! Bella, sayang! Kamu dari mana?" Dion memeluk dan mencium balita mungil itu penuh kelegaan.
"I found her in front of the building. Alone. Crying," kata sekuriti itu.
"Thanks! Thank you so much!" Dion berterima kasih pada sekuriti itu. Ia amat bersyukur.
"Om Yoyon, Bella takut!" kata balita itu. "Tadi Bella sama Ante dipukulin olang jahat!"
"Ante? Maksudnya... Tante yang beliin Bella boneka Barbie?" tanya Dion terkejut.
"Iya!" Bella mengangguk.
Dion benar-benar terkejut. Satu-satunya hal yang sama antara permasalahan Bella dan Cassie adalah Jordan. Mungkinkah Jordan yang menculik mereka? Dion segera menyewa sekuriti tambahan khusus untuk menjaga Dinda dan Bella, sedangkan ia menuju ke apartemen Cassie.
*****
Pukul 05.00 pagi, jalanan masih sangat sepi dan gelap. Setelah mengantar Bella, Cassie pulang sambil menahan perutnya yang terus berdarah terkena peluru. Ia menaiki tangga apartemennya dengan lemas. Beberapa kali ia berhenti karena sudah tidak kuat lagi berjalan.
"Ayo, Cassie!" Ia menyemangati dirinya sendiri. Ia bangkit.
Lantas saat ia berhasil masuk ke apartemennya, ia segera mengambil alkohol, obat bius, serta peralatan medis lainnya. Ia menggunting separuh bajunya, lalu menyiram lukanya dengan alkohol dan menyuntikkan anastesi bius. Sambil bersandar setengah berbaring di ranjang, ia mengambil sendiri proyektil peluru yang menancap di perutnya dan mengoperasi sendiri luka itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia mengoperasi tubuhnya sendiri. Gila!
"Aaaargh!" Cassie mengerang kesakitan. Ia menggigit handuk. Bagaimana pun obat bius itu hanya membius sebagian kecil jaringan tubuhnya.
Cassie terus menahan sakit. Bukan hanya sakit akan luka tembak itu, tapi juga sakit karena betapa menyedihkannya dirinya. Ia melakukan semuanya sendirian. Ia adalah buron. Ia harus melakukan semua sendiri. Dan ia harus selalu akrab dengan kesendirian. Sesunyi itulah hidupnya.
*****
Tak berapa lama, Dion yang amat khawatir dengan kondisi Cassie mendatangi apartemen Cassie. Ia melihat tetesan darah di lorong itu, membuatnya benar-benar khawatir. Apakah hal buruk terjadi pada Cassie?
Ia mengetuk pintu apartemen Cassie.
"Nessa?" panggilnya. Tidak ada jawaban. Cassie sudah terlanjur tak sadarkan diri di bawah pengaruh obat bius. Dion mengetuk dan memanggil lebih keras. "Nessa! Nessa! Cassie!"
Dion berusaha mendobrak pintu itu, tapi ada CCTV di ujung lorong. Ia takut dianggap pencuri dan berurusan dengan pemilik apartemen. Lalu bagaimana caranya ia masuk ke dalam apartemen Cassie?
Balkon! Dion tiba-tiba punya ide. Apartemen Cassie bersebelahan dengan aula. Balkon Cassie dan balkon aula hanya berjarak tiga meter. Lantas segera saja, di pagi buta musim gugur yang dingin itu Dion merambat di dinding dari balkon aula ke balkon Cassie.
KAMU SEDANG MEMBACA
New York in Love
Teen FictionNessa alias Cassie, jago bela diri, jago menembak, dan sangat independen. Ia kini tinggal di New York, untuk melupakan kisah cintanya yang sangat menyedihkan di tanah air. Lalu, suatu ketika ia bertemu musuh lamanya yang membuatnya terancam dan jadi...