Cassie menyuruh Madelaine tinggal sementara di apartemennya. Mereka tidak bisa ke rumah sakit. Maka, ia obati Madelaine di apartemennya."You have all these medical stuff? (Kamu punya banyak peralatan medis?)" tanya Madelaine lemah. Ia heran melihat lemari Cassie yang penuh dengan peralatan medis dan berbotol-botol obat.
"Please, don't ask me anything (Tolong jangan tanya apa pun!)" larang Cassie.
"Sorry." Wanita itu menurut. Ia mengamati Cassie. Ia tidak menduga wanita cantik seperti Cassie bisa membunuh seseorang begitu brutal.
"Madelaine? Your name?" Cassie membaca tulisan di gelang yang Madelaine pakai.
"Yes. I'm Madelaine. Mexicano. I'm a singer in that club. (Namaku Madelaine. Dari Meksiko. Aku adalah penyanyi di club itu.)," kata Madelaine. Ia tersenyum. "And you?"
Cassie diam saja. Ia enggan balik memperkenalkan dirinya pada Madelaine. Ia baru saja membunuh dua orang. Status buronnya pasti akan ditingkatkan. Entah bagaimana ia bisa hidup setelah ini....
**********
"Cassie, kamu cuma pembunuh!" Kata seorang wanita dengan wajah penuh darah.
"Ya! Kamu pembunuh! Kamu pikir kamu tidak bersalah?" Sosok lain turut hadir dan menghakimi Cassie. Mereka mengepung Cassie. Marah. "Kamu cuma pembunuh, Cassie! Kamu menghabisi nyawa kami tanpa merasa bersalah! Kamu tidak layak hidup bahagia!"
"Nggak! Saya masih bisa menebus kesalahan-kesalahan saya!" Cassie berusaha menyeret tubuhnya menjauh. Orang-orang tak berbentuk itu kian mendekat. Mereka berusaha menarik Cassie menenggelamkannnya ke dalam kubangan darah.
Cassie menangis. Ketakutan. Dan tiba-tiba sosok Erik hadir, mendekat.
"Erik...! Tolong!" Cassie senang sekali. Ia menggapai-nggapaikan tangan, meminta tolong pada Erik. Tapi Erik diam saja. Dingin. Tidak tersenyum. Raut wajah laki-laki itu sangat sinis.
"Erik...!" Cassie meminta tolong. Kubangan darah itu telah menenggelamkan sebagian tubuhnya.
Erik mendekat. Ia membungkuk. "Kamu pikir siapa yang membunuh saya, Cassie?!" Ia membenamkan kepala Cassie ke dalam danau merah pekat itu.
"Tolong!" Cassie tidak bisa bernapas. Sesak. Gelap. Paru-parunya terhimpit.
"ERIK!" Cassie tiba-tiba terbangun. Mimpi buruk. Ia terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat. Ia melihat jam di meja sebelahnya. Pukul 02.27. Ia selalu mimpi buruk di jam-jam ini. Dan selalu mimpi yang sama; kemarahan orang-orang yang telah ia bunuh, termasuk Erik.
"Mana obat gue?" Cassie meraba-raba mejanya, mencari obat anti depresannya. Tapi, obat itu habis. "Sialan! Abis lagi obat gue!"
Cassie kesal. Ia memang telah berbulan-bulan mengkonsumsinya. Bahkan kadang melebihi dosis harian. Ia tahu itu berbahaya. Biar saja! Bahkan jika ia mati overdosis ia justru akan bersyukur. Ya, ia ingin mati.
Cassie lantas bangkit dari tempat tidurnya, ia menarik kursi, dan berdiri di atas kursi. Ia akan bunuh diri. Ia sudah lama menggantung tali di langit-langit kamarnya. Tapi ia selalu ragu-ragu.
Lalu, ia mulai mengalungkan tali itu ke lehernya. Ia sempat mengamati sekitar sejenak. Ia sudah membersihkan apartemennya dan sudah memberi makan Zizi, kura-kura peliharaannya. Semoga Zizi mendapatkan majikan baru yang sayang padanya nanti.
"Bye, Zizi!" Cassie menendang kursi pijakannya, dan.... tubuhnya mulai bergantungan. Otot-otot di keningnya tercetak keluar. Peredaran darahnya mulai tersumbat. Kepalanya dingin, pucat, pusing, tak mendapat suplai darah. Cassie memejamkan mata. Sebentar lagi ia akan mati, menyusul Erik...
BRAKKK...
"Aaaaaaa!"
Sial! Plafon apartemennya jebol. Cassie jatuh ke lantai beserta tali gantungan itu.
"Aaaaa!" Cassie mengurut pinggangnya yang sakit terbentur lantai. Idiot memang. Ia sudah terbiasa merancang pembunuhan berencana. Giliran mau bunuh diri, ia malah gagal.
Ini adalah percobaan bunuh diri ketiganya. Dulu, ia sengaja memenuhi kamarnya dengan gas beracun. Tapi, ia lupa jika ada ventilasi kecil di sudut kamarnya. Akhirnya ia hanya keracunan saja dan gagal mati. Percobaan kedua, ia hendak menembak kepalanya. Tapi, sialnya pistol itu tiba-tiba macet. Ia lupa membersihkan pistolnya. Entah kenapa belakangan ini ia jadi sering hilang fokus, mudah lelah, bahkan sering pingsan. Depresi memang menurunkan kinerja otak. Dan sekarang, ia hendak gantung diri, tapi atap apartemennya justru jebol.
"Zizi, gue harus mati pakai cara apa lagi? Yang cepet dan nggak sakit!" Cassie sebal. Ia duduk bersandar di meja akuarium Zizi. Cassie memang membeli kura-kura itu untuk teman bicara. Rutinitas hariannya sangat datar, sunyi, dan hampa. Ia ingin punya teman.
Cassie memandang jari manisnya. Menatap cincin Erik.
"Zizi, gue nggak tahu buat apa gue hidup. Gue nggak punya tujuan hidup..." Cassie memeluk lututnya. Kesepian. Ketakutan. Dibayangi oleh kematian orang-orang yang dulu ia celakai. Serta, ia belum bisa menerima takdir kematian Erik...
******
KAMU SEDANG MEMBACA
New York in Love
Fiksi RemajaNessa alias Cassie, jago bela diri, jago menembak, dan sangat independen. Ia kini tinggal di New York, untuk melupakan kisah cintanya yang sangat menyedihkan di tanah air. Lalu, suatu ketika ia bertemu musuh lamanya yang membuatnya terancam dan jadi...