Always Nightmare

41 5 2
                                    

"Cassie, kamu cuma pembunuh!" Kata seorang wanita dengan wajah penuh darah.

"Ya! Kamu pembunuh! Kamu pikir kamu tidak bersalah?" Sosok lain turut hadir dan menghakimi Cassie. Mereka mengepung Cassie. Marah. "Kamu cuma pembunuh, Cassie! Kamu menghabisi nyawa kami tanpa merasa bersalah! Kamu tidak layak hidup bahagia!"

"Nggak! Gue masih bisa nebus kesalahan-kesalahan gue!" Cassie berusaha menyeret tubuhnya menjauh. Orang-orang tak berbentuk itu kian mendekat. Mereka berusaha menarik Cassie menenggelamkannnya ke dalam kubangan darah.

Cassie menangis. Ketakutan. "Tolong!" Cassie tidak bisa bernapas. Sesak. Gelap. Paru-parunya terhimpit kubangan darah itu. "Tolong..."

Cassie tiba-tiba terbangun. Mimpi buruk. Ia terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat. Ia melihat jam di meja sebelahnya. Pukul 02.27. Ia selalu mimpi buruk di jam-jam ini. Dan selalu mimpi yang sama; kemarahan orang-orang yang telah ia bunuh.

"Mana obat gue?" Cassie meraba-raba mejanya, mencari obat anti depresannya, dan segera meminumnya. Ia tahu ia harus menghentikan ketergantungan obat ini. Tapi ini adalah satu-satunya hal yang bisa membantunya berhenti mimpi buruk, jika tidak ia akan terus kesulitan tidur.

Cassie lantas berjalan menuju akuarium, menghampiri Zizi si kura-kura kecil itu.

"Zizi, gue nggak bisa tidur lagi!" kata Cassie. "zizi, gue selalu mimpi orang-orang yang gue bunuh. Dan..." Cassie mengingat-ingat mimpinya, "entah kenapa gue selalu mimpi wanita itu... gue nggak inget siapa dia... gue lupa.. karena gue selalu nggak peduli orang-orang yang gue bunuh..." Cassie meraup wajahnya, ingin sekali melupakan masa lalunya.

Dulu, Cassie di bawah pimpinan Robby, bekerja sebagai dokter sekaligus pembunuh. Robby memang membentuk firma detektif itu dengan melegalkan segala cara untuk menyelesaikan misi mereka, termasuk membunuh. Dan Cassie yang saat itu sudah menganggap Robby seperti ayahnya sendiri, selalu menganggap benar semua perintah Robby. Maka, ia mengiyakan jika ada misi pembunuhan dari Robby. Ia bisa merekayasa sebuah pembunuhan agar si korban seolah-olah meninggal karena serangan jantung, atau karena suatu penyakit, bukan karena dibunuh.

Andai ia terlahir dengan nasib yang baik, ia akan menjadi orang baik-baik yang sibuk mengejar karier dan mengurus keluarga, sama seperti orang normal lainnya. Bukan yang selalu harus bersembunyi karena status buronnya. Bukan yang selalu menelan pil anti depresan karena terus mimpi buruk. Andai ia bisa seberuntung orang-orang pada umumnya...

******


Pagi itu, Cassie tampak pucat karena tidak bisa tidur semalaman. Tapi ia tetap datang untuk mentraining Dion lagi seperti biasa. 

"Lo kenapa? Sakit?" Dion jelas melihat kondisi Cassie yang tidak fit. Ia memegang kening Cassie.

"Nggak apa-apa. Cuma nggak bisa tidur aja!" Cassie menyingkirkan tangan Dion. "Udah, buruan lari! Lo harus bisa lebih cepet dari kemarin! Lari cepat adalah skill paling basic yang harus lo kuasai!"

Dion mendengus. Sebal. Tapi ia tetap patuh berlari dan ia tampak sudah mulai terbiasa berlari mengitari taman dalam beberapa kali putaran. Lantas, kini ia bosan hanya dilatih kecepatan berlari saja. Ia mulai merengek.

"Ajarin gue ngelempar pisau, dong. Lo jago banget lempar pisau. Sekali lempar, seeet, langsung kena, tuh, orang!" kata Dion sambil menirukan gaya Cassie ketika melempar pisau.

"Lo tau dari mana gue jago lempar pisau? Lo pernah lihat gue ngelempar pisau?"

Dion langsung diam. Ia melihat Cassie melempar pisau ketika Cassie membunuh dua orang Latin itu secara keji.

"Heh, kok, malah diem, sih! Lo tau dari mana gue ngelempar pisau?" desak Cassie lagi ketika Dion diam saja. Seingatnya selama di New York ia hanya sekali menyerang seseorang dengan teknik lempar pisau. Dan itu adalah saat ia membunuh dua orang Latin itu.

"Oh nggak. Gue nebak-nebak aja. Kan, biasanya orang militer pada bisa tuh lempar pisau!" Dion beralasan. "Eh udah siang. Balik aja yuk. Panas!" Dion buru-buru balik badan. Menghindar.

Cassie menyipitkan mata. Dalam hati ia sedikit khawatir. Dion tahu terlalu banyak hal tentang dirinya. Tapi tidak mungkin, kan, Dion juga melihat ketika ia membunuh dua orang latin itu? Jika iya, sungguh rasanya ia terlihat amat jahat dan tidak layak hidup. Membunuh adalah dosa yang seharusnya ditutupi. Jangan sampai Dion tahu hal itu.

Dion sendiri, tidak tega jika mengaku pernah melihat Cassie membunuh. Maka ia diam saja.

"Nessa!"

Sampai di apartemen, Bara sudah datang. Wajahnya tampak sumringah melihat Cassie. Membuat Dion menyesal karena harus mengakhiri latihan militernya, satu-satunya momen ia bisa berdua saja dengan Cassie.

"Nessa, saya dapat undangan pesta bisnis. Banyak orang penting yang hadir di sana. Kita bisa dapat investor untuk nambah profit bisnis ini!" Bara memberitahu Cassie dengan antusias. 

Cassie menanggapi, "Berarti kita bertiga bakal ke sana?" tanyanya sambil menunjuk Dion.

"Hmmm undangannya cuma dua, sih. Dan Dion lagi ngerjain database BCJ. Ya, kan, Yon?" Bara menatap Dion. Ia harap Dion mengiyakan karena ia ingin sekali datang hanya berdua saja dengan Cassie.

Dion bangkit dari duduknya. "Oh... Udah kelar, kok, urusan database BCJ. Mending lo dateng berdua sama gue, Bar! Nessa kan jobdesknya cuma jadi penerjemah. Ngapain dateng ke sana segala!" Dion jelas tidak mau Bara punya kesempatan berduaan dengan Cassie.

"Tapi di pesta begini banyak investor dari berbagai negara! Nessa bakal ngebantu gue banget buat presentasi!"

"Tapi Dion CEO-nya," kata Cassie menengahi. "Lebih baik kalian aja yang dateng! Yang perwakilan start up ini, kan, kalian!" Cassie setuju.

"Nah, iya, kan, mendingan kita berdua aja, Bar!" Dion tampak girang.

Bara masih berusaha menyangkal, "Tapi beneran lo udah beres nge-hack database BCJ? Kata lo, BCJ makin sulit sistemnya dihack!"

"Udah beres! Gue sewa hacker jago dari New Jersey. Aman!" Dion bohong. Padahal sebenarnya ia belum berhasil meretas database BCJ. Entah mengapa sistem di BCJ semakin susah dibobol. Mungkin Jordan dan Alan Liem mulai sadar jika Dion berusaha menembus database mereka. 

Oleh karenanya sebelum pesta bisnis itu, Dion terus berusaha meretas sistem BCJ. Ia harus mengumpulkan data-data kejahatan yang Jordan dan Alan Liem sembunyikan. Siang malam ia duduk di depan laptop. Hingga kemudian ia menemukan salah satu data kejahatan Alan Liem atas pembunuhan Alisa, mendiang tunangan Bara.

"Hasil visum kematian saudari Alisa Amarta?" Dion membuka dokumen lama yang tampak discan itu. Bara pasti membutuhkan sekali data itu. Ia membaca runtut dari atas. Ia membaca kronologi kematian Alisa yang disebabkan oleh overdosis obat penenang, yang diresepkan oleh dokter dari Robby Consultant bernama...

"Dokter Cassandra Helen?" Dion membaca nama itu berulang-ulang. Ia tidak percaya. "Cassie? Cassandra Helen itu Cassie, kan?"

Dion sangat tidak percaya. Ia berusaha mencerna laporan hasil visum itu sekali lagi. Dan betul, dokter yang menyebabkan kematian Alisa itu bernama Cassandra Helen.

"Jadi... Cassie... Cassie yang ... membunuh Alisa?" Dion menutup mulut. Ia menatap tidak percaya layar monitornya. Jika betul Cassie adalah dokter yang membunuh Alisa, maka Cassie dalam bahaya. Bara, laki-laki yang amat memuja Cassie itu bisa berbalik menyerang Cassie setelah tahu kebenaran ini...

*****

New York in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang