"JADI, bagaimana keadaan adik saya, Dok?"
"Saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita wajib bersyukur karena adik Anda berhasil melewati masa kritisnya. Namun, kondisinya masih lemah dan butuh banyak istirahat. Maka, untuk sementara waktu adik Anda harus bedrest selama pemulihan luka operasinya. Kami juga akan terus melakukan evaluasi terapi antibiotik maupun okupasi yang dibutuhkan adik Anda."
Dari partisi tirai itu Bagas memerhatikan wajah lesi Askara. Bagas tak sanggup membayangkan jika sesuatu yang ia takutkan seperti dalam mimpi buruknya itu akan benar terjadi pada Askara. Bak orang linglung, Bagas tiba di rumah sakit dengan lutut lemas demi mendapati para petugas code blue itu mengupayakan tindakan darurat pada Askara yang mendadak mengalami henti napas.
Bagas tidak butuh apa-apa lagi selain Askara di sisinya. Doa-doanya terjawab kontan oleh datangnya sebuah keajaiban yang tersiarkan dokter. Berangsur-angsur kondisi Askara telah dipastikan dokter bisa lepas dari ruang ICU.
"Dok, tolong, lakukan perawatan terbaik untuk adik saya. Dia sudah berusaha keras agar bisa berjalan lagi. Saya ingin kejadian ini tidak menimbulkan trauma lagi untuknya," pinta Bagas serius.
"Sejauh ini tubuh adik Anda dapat merespons dengan baik pengobatan peritonitisnya. Tentu kita berharap prognosis yang positif. Kami akan berusaha semaksimal mungkin demi kesembuhan pasien. Penting juga untuk keluarga pasien tetap memberikan suport terbaik agar jangan sampai pasien merasa stres atau banyak pikiran," papar dokter paruh baya yang tersemat name-tag Prawira Surya Khaerudi, Sp. B-KBD pada snelli putihnya.
"Baik, Dokter. Saya pastikan Askara tidak akan kekurangan apa pun yang seharusnya saya berikan." Bagas bergumam lebih kepada dirinya sendiri.
Dihampirinya Askara sepeninggal dokter spesialis bedah digestif itu yang harus memeriksa pasien lain. Merasakan kehadiran Bagas, perlahan Askara membuka matanya yang masih tampak sayu.
"Hei, sudah bangun? Ada yang sakit? Atau mau mas ambilkan sesuatu? Minum?" tawar Bagas penuh siaga.
Askara menggeleng lemah. Sejenak lalu Askara menganggap dirinya masih berada di awang-awang. Kini ia merasa seperti dejavu dengan semua bentuk perhatian Bagas yang dulu juga akan sekhawatir itu ketika Askara jatuh sakit.
Ah, tampaknya efek anestesi itu terlalu menyulitkan Askara untuk membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Satu-satunya kenyataan yang harus ia ingat tentang penyebab dirinya bisa berada di rumah sakit ini adalah insiden penusukan itu.
"Mas Bagas—arrrgh!" Askara lupa dirinya sedang tidak dalam izin sembarangan refleks bergerak karena perban yang membalut perutnya tersebut.
"Kamu jangan banyak bergerak dulu," ujar Bagas membenarkan posisi tidur Askara kembali.
"Mas ... Pak Hadi ...." Ya, itu yang ingin Askara katakan saat mengenali sosok di balik penyamaran itu.
Bagas mengembuskan napas, lalu menduduki kursi di samping bed pasien. "Polisi udah menangkapnya."
"Selama ini aku pikir Pak Hadi orang yang baik. Ternyata Pak Hadi bukan aja mau menguasai perusahaan papa, tapi juga berniat mencelakai Mas Bagas," gumam Askara tercekat.
Bagas bisa memahami kekecewaan Askara. Sejak kecil, Askara begitu menghormati Hadi Kuntoro layaknya paman sendiri. Tak heran jika mereka memiliki kedekatan hubungan. Sebaliknya dari dulu sikap Hadi Kuntoro tidak selalu sehangat itu pada Bagas. Tentu saja sekarang Bagas tahu alasan Hadi Kuntoro tidak menyenanginya lantaran sejak awal pria itu turut memegang rahasia bahwa Bagas bukanlah keturunan Dipta Wardaya. Apalagi setelah Hadi Kuntoro membaca rencana Dipta yang mendapuk Bagas menjadi oposisinya dalam merebut kursi pemimpin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya dengan harapa...