i. the messenger

6K 421 27
                                    

Aku mendengar kabar itu di penghujung musim panas, di akhir sifku sebagai pelayan di 25/7.

Sementara populasi wisatawan di Basalt berkurang, para mahasiswa berangsur-angsur menampakkan diri mereka. Aku memungut uang tip di bawah cangkir kopi yang ditinggalkan pria berkacamata itu dan memasukkannya ke dalam saku jins. Kota akulturasi aneh ini mengenal budaya tipping dari orang-orang Barat yang berkunjung dan menetap, tapi aku tidak yakin pria barusan meninggalkan tip atas nama kesopanan. Dia terus-terusan mengedipiku saat aku menyapu daun kering dan menyiram bunga.

Aku juga menemukan selembar kartu nama yang praktis kubuang ke tong sampah.

Di seberang meja bekas pria genit itu, satu grup cewek-cewek sedang bergosip sambil menghisap rokok. Ada total tiga cewek, tapi hanya dua yang memesan minuman (dua cangkir matcha latté), sementara yang satu lagi datang belakangan dan langsung duduk. Setelah para seniman yang tahu waktu, mereka adalah jenis pelanggan favoritku. Agak berisik, tapi membuatku lebih sadar akan dunia luar. Merekalah portal gosip Basalt. Bukan secara harfiah, tapi itulah kenapa telingaku unik. Bagian tubuhku yang satu itu tidak pernah bergerak, tapi dia tahu segalanya.

"... he's back in town..."

"... who's Z?"

"... the Z?"

"Kamu anak rantau, Sya. Kamu nggak tahu dia."

"Dari cara kalian bicara, kayaknya aku jadi pengin tahu."

"Ada yang lihat dia di Double D. Upstairs. You know what upstairs mean..."

"Oh, forget about ladies night. We're heading to Double D."

"Guys, his Instagram, perhaps? I'm clueless."

"He's not accepting. Unless you've slept with him."

"I'd sleep with him."

"Sya! Kamu nggak tahu dia!"

"I wanna know."

"Oh, fucking Z del Rosario... you wouldn't want to know, hon."

Cewek-cewek itu berhenti bicara saat nampan yang kubawa jatuh dan cangkir kopi bekas pria genit itu pecah berkeping-keping.

"Ju!"

Pintu depan kafe terbuka.

Aku ternganga, mendongak.

Keke menatapku, lalu kekacauan yang kuciptakan di lantai sore ini. "You alright?"

Aku mengangguk. "I'm okay."

Keke menepuk gagang kayu raksasa yang tadi kudorong dengan bahuku. "Udah kubilang harusnya mereka nggak pakai gagang sebesar ini."

"I tripped," aku berdusta. "Biasanya aku nggak apa-apa."

Keke mendorong pintu kaca kafe kuat-kuat agar tidak menutup sendiri, lalu mengambil sapu dan pengki. "Aku yang apa-apa," Keke bergumam. Ini memang rekor pertamaku memecahkan barang, tapi tidak untuk Keke. Makanya cewek itu lebih suka bekerja di kasir. "Biar aku yang sapu, kamu absen terus pulang aja."

"Oke." Aku berhenti sebentar. "Thanks, K."

"I love you, Juju." Keke melayangkan kecupan padaku, dan aku tertawa, selama sejenak melupakan apa yang menyebabkan kecelakaanku. "Have a great night."

"You too," kataku, lalu pergi ke dalam untuk mengambil barang di loker.

Aku berjalan. Melewati konter, pintu baja antikarat yang berkeriut saat aku membukanya, lalu berhenti di depan lokerku. Aku sendirian. Di luar, terdengar deru mesin pembuat kopi dan lagu yang berkumandang sayup-sayup, tapi selebihnya hening. Rasanya seperti aku terjebak di dalam gelembung raksasa dan satu-satunya suara yang bisa kudengar hanya gema berisik di belakang kepalaku.

Mereka tidak mungkin membicarakan Z yang sama.

Tapi tidak mungkin ada Z del Rosario yang lain selain Z itu.

Z-ku.

Cowok itu sudah pergi selama enam tahun.

Kubuka pintu lokerku, melepas celemek, lalu melipatnya asal-asalan dan mengambil tas. Aku harus pergi. Aku perlu udara segar. Aku perlu pergi ke suatu tempat.

Mungkin melihat matahari terbenam sambil minum kopi yang bukan racikanku sendiri. Jika memang itu yang perlu kulakukan, maka aku tahu ke mana aku harus pergi sekarang.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang