Aku tidak melihat Papa di ruang kerjanya saat aku pulang. Tapi suaranya datang dengan lantang saat aku mengundaki tangga menuju lantai dua, "Juliette?"
"Yeah?" aku menjawab malas-malasan.
Papa menggunakan ruang kerjanya untuk menjamu kolega saat dia masih di gudang beras, tapi sekarang ruangan itu tidak lebih dari sekadar tempat penyimpanan untuk trofi dan sertifikat yang dia peroleh dari berbagai kejuaraan tenis. Saat Papa tidak pergi ke Clubhouse, jika tidak berkebun, dia akan menggosok koleksi trofinya dan membingkai sertifikat-sertifikatnya. Pigura-pigura dan plakat emas menutupi hampir seluruh kertas dinding motif parsley yang direkatkan pada dinding ruang kerja Papa. Mengintip ke dalam ruang kerja itu hampir-hampir seperti mengintip ke dalam dasar hati Papa, bagian dari Papa yang paling kusukai—dia dan tenis.
"Kenapa, Pa?" Hanya ujung sepatuku yang melewati ambang pintu. Karpet Persia mahal melapisi sebagian besar lantai. Semuanya di sini meneriakkan kerja keras Papa, dan aku tidak boleh masuk kecuali dia sendiri yang mengundangku. Itu tidak benar karena aku merecoki tempat ini sepanjang waktu, hanya saja ketika Papa tidak ada.
"Gimana, Jul?" Papa sedang mengganti plester di gagang raketnya. Putar, putar, putar, segel. Ada tiga raket, dan dia masih mengerjakan yang pertama. "Kapan resign?"
Ini pertama kalinya Papa mengajakku bicara setelah menggeletakkanku begitu saja untuk diurus Z. Cowok itu menggosok-gosok punggungku hingga aku tertidur, menggendongku ke kamar, lalu menyelimutiku dan meninggalkan pesan yang manis sehingga aku merasa baikan keesokan paginya. Kupikir Papa sedang mempertimbangkan kembali keputusannya tiga hari ini, tapi dia bahkan tidak menatapku. Dia tidak merindukan aku. Dia menganggap aku yang akan mempertimbangkan keputusannya.
"Belum tahu," aku membalas. "Belum ketemu atasan."
"Nggak bisa di-e-mail aja?"
"Nggak bisa."
Papa mendongak dari tumpukan raketnya. "Jangan nggak bisa-nggak bisa," dia mengomel. "Udah seenaknya nerima lamaran anak orang, sekarang nggak resign-resign. Ini udah setahun, lho, Jul. Papa udah kasih waktu setahun buat nganggur. Jangan ditambah-tambah sendiri."
"Aku pasti resign!" jeritku. "Tapi nggak sekarang! Udah kubilang aku nunggu kerjaan yang bagus... Lagian, siapa yang nganggur?" Gajiku lebih banyak daripada gaji kebanyakan admin di kota ini.
"Mana ada nunggu kerjaan bagus," Papa mendengus. "Zaman sekarang dapet kerjaan aja udah syukur. Apalagi dikasih gratis. Nggak usah interview, langsung masuk. Anak-anak sekarang kebanyakan gaya. Orang-orang setengah mati ngelamar kerja di situ, Jul."
Aku menyipitkan mataku.
Di atas orang-orang meremehkan pekerjaanku sebagai barista, aku lebih tidak suka orang-orang menganggap aku tidak kapabel mendapatkan pekerjaan yang so-called lebih bagus itu. Mereka dan aku tidak sama. Yang setengah mati bagi mereka itu cuma satu gigitan kecil cake untukku.
"Lihat aja," kataku. "Jangan kaget di mana aku kerja habis resign dari kafe nanti."
Papa mengawasiku dari sudut matanya saat aku membanting pintu menutup dan berlari ke atas.
➕
Aku bersyukur sore itu Papa minggat ke Clubhouse. Hari itu hari liburku, dan aku ingin menghabiskannya bersama Z. Dia mengundangku ke mansion-nya untuk menikmati tiram dan vinho verde. Bakal hanya ada kami berdua, di halaman belakangnya, dengan seember tiram dan anggur muda. Kedengarannya seperti pelarian yang bagus. Aku membutuhkannya.
Aku memakai atasan halter yang cantik dan rok mini setelah mengeriting rambutku. Z bersandar di pintu kamarku, kepala dimiringkan agar tidak menyentuh birai. "What do you think?" tanyaku, lalu berputar sekali lagi agar Z bisa melihat penampilanku dari berbagai sisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...