Katanya, tenis itu hobi orang-orang kaya, tapi terlahir sebagai anak dari mantan atlet tenis jarang bikin aku merasa begitu.
Tentu saja ada orang-orang seperti Papa, yang meninggalkan karirnya sebagai atlet di sekolah dan kuliah untuk menjanjikan kehidupan kepadaku dan Mama. Ini bukan di luar negeri, kata Papa, mimpi jadi atlet, apalagi di olahraga-olahraga yang aksesnya sulit untuk mayoritas penduduk, itu sama saja seperti mimpi jadi astronot; cuma satu dari sejuta yang berhasil.
Pada akhirnya, Papa harus puas dengan Sunday league-nya di Clubhouse. Dia mendapatkan banyak uang dari mengabdi di gudang beras selama lima puluh tahun terakhir; dia mengirimku ke prep school dari playgroup sampai SMA, mengajakku jalan-jalan ke luar negeri, bahkan membelikan aku mobil di ulang tahunku yang ketujuh belas. Tapi jauh di dalam hatinya, aku tahu, daripada menghabiskan weekend bersama bapak-bapak kaya lain, dia akan lebih bahagia... up there, bersama bintang-bintang yang namanya secara periodik menghiasi Australian Open, atau Miami Open, atau Open-Open lainnya.
Papa adalah Squidward yang punya kuburan untuk mimpi-mimpinya sendiri.
Eksklusivitas hobi Papa itu tidak kurasakan sampai skuterku bergulir di sepanjang jalan masuk Clubhouse, dan orang pertama yang kulihat di lapangan tenis adalah pria yang sangat mirip dengan Z.
Well, tidak terlalu, karena matanya abu-abu, dan itu membuat cerita Z di meja makan estatnya semakin masuk akal.
Aku melompat turun dari skuterku dan menguncinya di rak sepeda. Dari petak parkirku, aku bisa melihat Z sedang duduk sendirian tidak jauh dari tempat Papanya berdiri. Tidak heran Papa meneleponku. Jelas Z salah tempat di sini. Cowok-cowok seperti Z seharusnya bangun siang setelah teler di Dooms-Day malam sebelumnya. Cowok yang rajin olahraga, apalagi yang menurut pada Papanya, itu sudah jarang di Basalt, pengecualian termasuk cowok-cowok yang setor muka di By the Beach setiap hari—tapi beberapa dari mereka juga setor muka di Dooms-Day setiap Sabtu, jadi itu tidak sepenuhnya benar. Aku kemudian berpikir apakah Papa meneleponku untuk menemani Z berarti Papa sudah menyukai cowok itu. Pikiran itu terasa agak menyenangkan, sejujurnya.
"Hey," aku menyapa Z.
Dia menggeser tatapannya dari kursi umpire di seberang folly. Matanya agak menyipit saat cowok itu mendongak untuk menatapku, silau. "Hey, pretty."
Ada topi Lacoste putih di pangkuan Z, jadi aku mengambilnya dan memasangkan topi itu di atas kepalanya.
Rambut Z hampir menutupi matanya karena tidak disisir ke belakang lebih dulu. Dia mendengus tertawa. "Panas," katanya.
"Bukannya di Cali juga panas?" tanyaku, lalu memungut bola tenis yang bersarang dengan nyaman di antara sneakers-nya.
"Aku tinggal di gunung, sayangnya." ucap Z, lalu tersenyum saat aku menatap cowok itu. "Day off?"
Aku mengedik.
"Aku nggak tahu Papa kita satu klub tenis." Kusadari, belakangan, Z mulai banyak bicara. Kata-katanya juga semakin jelas. Z adalah orang terakhir yang kukira bakalan melemparkan basa-basi I-didn't-know-our-parents-were.
Tidak jauh dari folly, Papa Z memperhatikan kami sambil mencongkel bola tenis dengan ujung raket. Dia memukul bola tenisnya ke lantai, lalu membalik raket seperti bola tenis itu semacam daging patty untuk membuat burger.
Dia tersenyum samar, dan aku buru-buru membalasnya dengan cengiran gugup.
"Aku nggak tahu Papamu ada di klub tenis Papaku." Aku menyipitkan mataku pada Z. "Dari mana kamu tahu itu Papaku, by the way?"
Gantian, sekarang giliran Z mengedik. Pinggangnya bersandar pada seonggok tas raket yang ditaruh asal-asalan di dalam folly. "We talked." Senyum Z terangkat lebih tinggi di satu sisi, menunjukkan sekilas gigi-giginya. "Tadi aku lawan Papamu. Katanya dia nggak pernah ketemu orang yang mukul kayak aku. Well, I impressed him, sort of."
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...