vi. en passant

2.8K 290 65
                                    

Z membereskan meja sementara aku mencuci mangkuk dan gelas-gelas kotor. Kata Z, seharusnya estat sudah ditutup setelah matahari terbenam, tapi khusus untuk Z dan anggota keluarga del Rosario yang lain, mereka diizinkan berkunjung kapan saja asal bersedia melakukan self service. Aku bercanda kalau Z tidak mungkin juga mau dilayani karena ilmu yang cowok itu dapatkan di Napa Valley, dan Z cuma tertawa.

Z memadamkan perapian dan mematikan lampu-lampu, lalu membungkusku dengan hoodie-nya seperti kepompong dan menuntunku keluar estat.

"Z, wait," ujarku.

"Yeah?" katanya.

Z menatapku.

Aku menggigit bagian dalam pipiku.

Z mengangkat satu alisnya.

"Kita nggak..." Aku menyatukan kedua telunjukku. "Maksudku... kamu nggak jadi... uh..."

Pulang dari kafe tadi, aku mampir ke minimarket untuk membeli kondom karena ingat betapa careless-nya kami dulu—it was hot, but messy. Banyak darah di atas seprai. Mulut sampai ke leherku basah karena salivanya. Paha dan dadaku penuh bekas ciuman.

But he was so well with aftercare. Cowok itu membawakan waslap hangat dan tisu basah ke tempat tidur, lalu menggendongku ke kamar mandinya.

Kini, aku mengepit sling bag-ku di dada. Takut Z bisa menebak apa isinya.

"Oh," kata Z setelah beberapa lama.

Z menatapku lagi.

"Kamu mau?" tanya Z.

Cowok itu serius.

Aku menggeleng-geleng. "Nggak, aku—"

"Aku mau, kalau kamu mau," kata Z.

"Nggak!" pekikku, lalu buru-buru menyergah saat ekspresi Z berubah, "Bukan gitu maksudku! Maksudku, aku mau, tapi—if you're not in the mood—"

"I'm in the mood."

"No, you're not," aku mengerang. Shit. Christ, what have I done? "Mood-mu malem ini masak-masak dan minum wine, oke?" Kemudian, sesuatu merasukiku dan aku berjinjit untuk menyentuh pipi Z. "Look at me, Z. Tell me I was right."

Z meraih tanganku di pipinya, lalu tatapannya berpindah dari jemari kami yang bertautan kepada kedua mataku.

"I'll tell you later when you're in the mood," kataku. "When you're really in the mood."

Z menelan, lalu mengangguk. "Okay."

Cowok itu melangkah mundur, lalu berbalik dan berjalan menuju carport untuk mengambil mobilnya.

Saat menatap punggung Z, aku merasakan jarak yang meregang dan merobek dadaku perlahan-lahan, seperti sehelai kain tipis yang ditarik dari kedua sisi. Tidak ada artinya merasa kehilangan saat orang itu hanya beberapa meter jaraknya dariku, tapi hatiku merasakannya, dan hati hampir tidak bisa berbohong.

Di mobil, Z tidak banyak bicara kecuali saat kami melintasi tempat-tempat yang baru dibangun enam tahun terakhir.

Dia melewatkan banyak hal, termasuk By the Beach, lapangan basket separuh di Rockingdown Park yang membuka langsung ke Samudera Hindia, sejauh ini tempat terbaik untuk menonton matahari terbenam. Z sudah mendengarnya dari banyak orang—Marki di bagian teratas list—lalu memutuskan untuk pergi ke situ hanya untuk menemukan aku.

Rasanya aneh mengingat kejadian itu baru kemarin.

Mobil Z berhenti di titik yang sama, dan dari luar aku melihat SUV raksasa Papa sudah terparkir di carport, dalam hati berpikir ini pasti sudah lewat pukul sebelas.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang