Hanya Tuhan, aku, dan atasanku yang tahu kalau hari ini adalah hari terakhirku bekerja di 25/7.
Aku tidak sampai hati membicarakannya dengan Keke. Aku berencana menginformasikan cewek itu di sela-sela sif kami, saat kami sedang sibuk supaya Keke tidak jadi emosional karena fokusnya cuma mengarah pada satu hal. Menghabiskan satu tahun bersama cewek itu, aku tahu dia lebih tenang saat tangan dan mulutnya bekerja, dan aku tahu dia akan menangisi hal-hal nggak penting, termasuk keputusanku mengundurkan diri.
Aku tidak bisa melihat Keke menangis. That poor soul.
Jadi, sepagian itu aku berakting seolah ini bukan hari terakhirku menuang kopi dan mengobrol bersamanya di stasiun. Kurasa aku menyembunyikan keresahanku cukup baik. Biasanya Keke cukup sensitif terhadap suasana hatiku, tapi hari ini cewek itu tidak melontarkan komentar apa-apa. Banyak yang memesan smoothie pagi ini dan smoothie adalah keahliannya. Aku membantunya menyiapkan buah-buahan segar dan mengantar pesanan ke meja. Ini hari biasa yang lain di 25/7 jika aku tidak merahasiakan sesuatu darinya.
"Ju, dolce latté satu," Keke mengumumkan dari belakang mesin kasir.
"Oke," sahutku, pendek.
Minuman-minuman ini mungkin akan menjadi minuman terakhir yang kuracik di sini, dan mungkin sudah saatnya aku menggambar Balerion di atas minuman-minuman ini sebagai tribute-ku untuk Richie. Dia banyak mengandalkanku, tapi dia juga gampang disuruh ini-itu.
Keke menginvasi stasiun kerjaku saat cewek itu menuangkan tap water ke dalam mug keramik, dan aku memanfaatkan kesempatan itu mumpung dia sedang sibuk melayani pelanggan, "K, ini hari terakhirku di sini."
Mug itu terpeleset dari genggamannya dan pecah menjadi dua di lantai.
Well, mungkin mengabarkan Keke saat dia sedang memegang barang pecah-belah bukan ide bagus. Sudah kubilang, rekornya jauh di atasku.
"Aku udah resign." Aku tidak memberi diriku kesempatan untuk mengambil jeda. Apa yang harus diselesaikan sudah sepatutnya diselesaikan. "Papaku nggak suka aku terus-terusan kerja di sini. Dia mau aku nyari kerjaan lain."
Keke terduduk di lantai bersama pecahan mug-nya. Aku mengambil yang baru dan mengisinya dengan air untuk diantar ke meja sebelum berjongkok dan memeluk Keke dari belakang. Dia menangis. "Sshhh," kataku. "K, aku juga nggak mau resign, tapi aku bertengkar terus sama Papaku... I love you, aku betah di sini, but I had to prove myself right."
"Aku cuma semangat ke kafe karena kamu, Jules," dia menangis. "Kalau lagi sif sama yang lain aku coba tahan-tahanin karena besoknya aku ketemu kamu lagi. Aku nggak tahu harus ngapain kalau kamu nggak ada. Hubunganku sama orangtuaku nggak baik karena aku stay di kerjaan ini."
Keke sudah punya bad blood dengan kedua orangtuanya jauh sebelum dia kenal aku. Dia tinggal di indekos dan tidak pernah pulang setelah lulus dari fakultas Ekonomi. Aku tahu masalah-masalahnya, dan mendahului cewek itu pergi mendadak bikin aku merasa curang. Aku bebas, dan Papa akan senang, tapi Keke terjebak di sini. Dia juga ingin pergi, aku berani jamin, tapi aku punya Papa, pekerjaan yang dia tawarkan, dan aku punya Z, gerbang menuju mimpi-mimpi indahku, sedangkan Keke tidak.
Keke memutar tubuhnya, lantas memelukku kuat-kuat. Kami bergelung di lantai dengan make up yang luntur dan celemek yang kusut. Dia sahabatku dalam rentang waktu yang lebih singkat daripada Diana, tapi waktu tidak berarti apa-apa ketika dia memberikan semuanya yang Diana tidak bisa.
"I'm gonna miss you," bisiknya.
Aku mengeratkan pelukanku di lehernya.
Tidak ada yang pernah bilang padaku kalau melepaskan Keke lebih sulit daripada melepaskan kafe ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...