vii. folie à deux

2.7K 287 38
                                    

Sarapan keesokan paginya, Mama terus-terusan bertanya siapa cowok gentleman yang tidak membiarkan putri tunggalnya ini pulang sendiri. Dia menuangkan selai lingonberry di atas bola-bola daging kesukaanku. Ke-hopeless romantic-annya membuatku berpikir dia lebih suka Ford Fiesta-nya kutinggal di kafe daripada melihatku single. Terakhir kali aku membawa cowok ke rumah kira-kira setahun yang lalu, tapi kami sudah putus karena meski dia mencintaiku, dia tetap menyukai cewek lain.

I don't want mediocre. I need him to be obsessed.

Papa, sementara itu, menyimak ocehan Mama dengan lelah. Dia menutup gelas tehnya dengan selembar roti sambil membaca berita di ponsel. Baik dia maupun Mama sama-sama tidak tahu kalau cowok gentleman yang membuat meja makan kami panas pagi ini bertato dari lengan sampai perut, punya nama belakang del Rosario, dan bisa membetulkan langit-langit tanpa tangga. Mereka juga tidak tahu kalau cowok gentleman itu adalah cowok yang sama dengan cowok yang pernah memberitahuku kalau putingku sangat sensitif.

Well, kurasa mereka tidak perlu tahu.

Selesai sarapan, aku menuju ke teras sambil memesan Uber agar tidak terlambat untuk sif pagi, tapi mobil Z, tanpa aku meng-SMS cowok itu, sudah terparkir di tempat yang sama seperti dua hari yang lalu.

Panik, aku berusaha untuk membuka-tutup gerbang tanpa bersuara. Di luar, Z sudah menungguku sambil cowok itu bersandar pada kap mobil. Kendati di bawah matahari, aku tidak melihat satu pun warna hangat pada Z. Tidak ada cokelat, tidak ada oranye, hanya sedikit warna pink di bibir dan ujung hidungnya.

"Aku belum SMS kamu!" aku terengah-engah, lalu menekan dadaku sendiri. Cowok ini tidak pernah tidak bikin aku deg-degan.

"Tapi kamu udah siap kan?"

Sekarang Z berdiri sepenuhnya. Dia mengamatiku kehabisan napas dengan penasaran.

Aku mendongak. "What?"

Z meraih bagian bawah kuciranku dan menariknya hingga terlepas.

Helai-helai kecokelatan berjatuhan, membingkai wajahku dan menempel di bibirku yang berpoles lipgloss.

"Z!" erangku. "Berantakan!"

"Cantikan gitu."

Z memunggungiku, membuka pintu penumpang depan, lalu berputar ke pintu pengemudinya sendiri.

Aku mengekori cowok itu dengan pasrah. Pipiku terasa penuh dan panas. Sementara itu, napasku putus-putus lagi karena jantungku yang berdegup terlalu kencang.

Z tidak akan berhenti sampai seluruh dunia tahu kalau hubungan kami spesial.

Tangan cowok itu mendorong pintu kaca kafe lebih dulu daripada tanganku, membukakan jalan. Aku tidak punya pilihan selain menggumamkan thanks yang pelan dan melangkah dengan kepala tertunduk menuju loker.

Sesungguhnya, aku tidak terlalu terkejut saat keluar dan menemukan Z masih di kafe. Cowok itu bersandar pada konter yang hanya sebatas pahanya, tatapannya memandang papan menu datar-datar. Menilai dari sepinya kafe, bisa dibilang kehadiran Z menakut-nakuti anak baru yang berbagi sif denganku pagi ini. Lihat saja; Richie, si anak baru, melirikku, waspada, dan aku kontan memutar bola mata.

Seperti aku sengaja mengundang cowok itu untuk mengetesnya saja.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Cappuccino, please," kata Z.

"Y-yang iced, Kak?" Richie gelagapan.

"No." Aku memalingkan wajah dari berderet-deret cangkir porselen yang sedang kubersihkan, dan kulihat Z sedang menggigit seringai di sudut bibirnya sendiri. "Cappuccino panas. Dan brown sugar. Dipisah."

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang