xix. raising hell

1.4K 197 195
                                    

Minggu itu berlalu dengan aku membantu Mama berkebun dan pergi ke bioskop bersama Keke. Kami bersenang-senang, like the best friends we are, dan Keke mengajakku ke pasar malam untuk bermain game dan naik komidi putar. Aku bukan tipe yang biasanya suka menantang bahaya, tapi aku bersumpah mesin sialan itu mengangkat bebanku seperti mengangkat selusin orang lainnya ke udara. Pyxis dan Basalt terlihat seperti secuil French Riviera yang diselimuti gelapnya malam. Lampu-lampu yang menyala naik, dan terus naik, sampai ke puncak dataran, dan aku tidak bisa mencegah kepalaku dari berpikir, Z. Z, Z, Z. Estatnya. Cincinnya di jari manisku. Semuanya itu terjadi di puncak Pyxis.

Keke tidak menerima kabar yang kubawakan tentang Z dengan baik. Dia banyak diam setelah aku memberitahu cewek itu di kafe kecil yang menjual chai hangat, beberapa jam sebelum film dimulai. Keke tidak membenci Z, tapi, sepertiku, dia tidak melihatnya sebagai cowok yang berpeluang menyakitiku seperti itu. Aku bisa memikirkan sejuta cara yang bisa dilakukan Z untuk menyakitiku, dan aku tidak memikirkannya seperti ini.

Keke dan aku hanya semacam ber-carpé diem dalam bentuk girls day out. Energinya terkuras karena bekerja, dan energiku terkuras karena apa yang terjadi padaku belakangan (dan dari bekerja, juga). Mempresentasikan pertemuanku dengan Alyssa juga lumayan menguras tenaga. Karena sebesar apa pun keinginanku untuk tidak mengakuinya—dan persetan soal I have no enemies—aku memang membenci cewek itu. Alyssa menempelengku dengan hal-hal yang tidak bisa kudapatkan dengan mudah, hal-hal yang bisa dia dapatkan hanya dengan eksistensinya. Ketika aku membayangkan mencium Z, Alyssa sudah merasakan lebih dari itu. Ketika aku berpikir apa yang Z lakukan saat dia jauh dari Basalt, Alyssa sedang melucuti pakaian cowok itu, lalu melakukan seks penetratif dengannya. Dan ketika aku memutuskan sudah waktunya untuk melupakan Z, cowok yang kupikir mencintaiku ternyata ingin mencicipi seperti apa rasanya cewek itu. Seperti apa rasa ciumannya seperti Z mencium cewek itu di mobilnya, seperti apa rasa tubuh cewek itu di sekelilingnya seperti yang Z rasakan pada pengalaman seksual pertamanya.

Satu hari sebelum gerbang Disclosure dibuka kuhabiskan dengan membantai otot-ototku sendiri di gym. Clubhouse, sendirian, dan sesi tenis ayah-anak setelahnya. Papa dan aku main pukul-pukulan hanya terjadi satu sampai dua kali dalam setahun, dan aku sudah menggunakan jatah pertama Papa pagi-pagi sebelum malam perayaan ulang tahunnya Juni lalu. Aku tidur seperti orang mati sampai alarmku berbunyi keesokan paginya dan aku harus bangun untuk mengembalikan jam tidurku sebelum tidur lagi nanti siang.

Malam itu berjalan dengan lambat di Disclosure. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di kantorku untuk membalas setumpuk RSVP yang masuk lewat e-mail. Aku juga memfinalisasikan poster yang akan kami cetak untuk bintang tamu kami, AFROJACK dan Tiësto, bulan depan, lalu mengirimkannya kepada Elsje untuk disetujui.

Terdengar suara ketukan di pintu.

Aku sudah agak lupa dengan kejadian Minggu lalu, tapi ketukan di pintu ruanganku akan selalu—sejak Z—melakukan sesuatu kepada tubuhku. Sort of a light switch.

"Ya, masuk," kataku. Keringat mengalir deras di garis-garis tanganku, telapak kakiku mendadak dingin.

Tapi itu cuma Ximenes.

Bahuku memerosot tajam. "Ya?"

Kulihat Ximenes menjilat bibirnya sebelum berkata, "Miss, ada yang mau ketemu di bawah." Dia terlihat takut. "Ditunggu segera, Miss."

"Siapa?" Aku langsung berdiri. Kalau itu Z, well, aku tidak tahu. Mungkin aku akan menemuinya? Yah, mungkin juga tidak. Aku merindukan cowok itu, mampus. Aku kangen dipeluk. Aku kangen dicium dan diangkat seperti aku tidak berbobot apa-apa. Aku kangen senyumnya. Kesimpulannya, aku kangen Z, dan aku hampir gila karena cowok itu benar-benar pergi, seperti, menghilang. Begitu saja.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang