[⚠️⚠️⚠️]
—
"... the day we met was like a hit-and-run, and I still taste it on my tongue." (BOYS LIKE GIRLS)
—
Sepulangnya dari kafe, aku menyetir ke arah yang berlawanan dari Pyxis. Bangunan apartemen Z ada di jalan besar bernama Sunset Avenue, masih di jalan yang sama dengan pantai dan By the Beach, dan ke sanalah aku pergi malam ini.
Penthouse hanya berarti satu lantai: lantai teratas. Aku sudah cukup kenal dengan bangunan-bangunan apartemen di Basalt untuk tahu kalau mereka biasanya punya lift pribadi, tapi aku diminta memasuki satu dari selusin lift yang berjejer di lobi demi mencapai level tersebut. Melangkah ke dalam, cermin tiga sisi yang terinstalasi di interior lift menyambutku dengan bayanganku sendiri. Aku terlihat berantakan. Kemeja putihku kusut, rambutku mencuat dari kuciran, dan bibirku pecah-pecah. Aku merogoh lip balm ber-SPF yang selalu kubawa dan mengoleskannya ke bibir agar Z tidak mengira tunangannya diambil alih zombi.
Perjalanan itu memakan waktu selamanya. Begitu aku sampai, koridor liminal terang benderang membentang ke depan, lalu bercabang ke dua arah berbeda. Aku berdiri di persimpangan, menatap pintu di sebelah kiri. Sesuatu terlihat ganjil, seperti pintu tersebut sudah tidak tersentuh untuk waktu yang sangat lama, jadi aku menuju ujung koridor sebelah kanan dan mengetuk pintunya.
Hening menjawabku.
"Z," panggilku, pelan. "It's me."
Kutekan bel, lalu aku menunggu lagi.
Z tidak akan membiarkanku menunggu jika aku menghubunginya lebih dulu, tapi cowok itu juga tidak membutuhkan waktu lama untuk membuka pintu setelah aku memanggil namanya. Z terlihat menggemaskan dengan piama yang dikancing asal-asalan. Di tangannya ada segelas anggur merah, menggenang di dasar gelas karafe. Mata Z membesar saat dia melihatku di pintu masuk. Dia buru-buru menarikku masuk dan menutup pintu. Ciumannya menyentuh bibirku saat kami akhirnya benar-benar terpisah dari dunia luar.
"How did you know?" Dia menggenggam tanganku dengan tangannya yang tidak memegang gelas. "Kamu bisa SMS aku—aku jemput kamu ke kafe."
Aku menyesap sisa-sisa ciuman Z di bibirku, menggeleng. "Aku baru kepikiran mau ke sini waktu udah di jalan," ujarku.
Z tertawa senang. "Kita berdua lagi di rumahku."
Aku tersenyum, lalu berjinjit dan mengaitkan tanganku di belakang leher Z. "Give me another kiss?"
Z menenggak sisa minumannya, lalu meletakkan gelasnya di atas meja. Tangannya memanggilku agar aku merapat, lalu dia membuka mulutku, menyemburkan wine yang manis dalam satu ciuman panjang. Bibir Z terlepas saat aku terbatuk pelan. Cairan merah menyusul, menetes dari daguku, membercaki kemejaku yang tadinya putih bersih.
"Oh, sorry," gumam Z.
"It's okay." Sudah waktunya ganti kemeja, kurasa. Aku menarik-narik kemejaku agar bercak wine-nya tidak membuat kulitku lengket. "Punya tisu?" tanyaku.
"Ganti baju aja." Z merangkul bahuku, lalu menempelkan bibirnya di rambutku di sepanjang jalan menuju kamarnya. Dia mau main kereta api. "Ini kamarnya Marki, tapi dia nggak bakal sadar kalau bajunya diambil satu."
"Aku nggak mau musuhan sama Marki," sahutku, cepat.
"Nggak, dia nggak bisa marah ke cewek, apalagi ke cewekku."
Sebelum membuka pintu, Z mencium pelipisku, lalu mendorongku masuk.
Kamar Marki terlihat seperti, well... Marki. Keren, tapi serampangan. Meskipun banyak yang berantakan, semuanya wangi dan bersih. Perabot-perabot mahal menyelingi lukisan-lukisan karya ibu mereka. Cuma tebakanku. Aku tahu Mama Z pelukis dari Rusia, tapi aku tidak tahu apakah dia memiliki karya rahasia yang disimpan di kamar anak perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...