ii. the phantom of the city

4.7K 374 46
                                    

Aku tidak bertemu Z di By the Beach hari itu, tapi minggu depannya.

Semua orang membicarakannya. Sehingga rasanya hampir-hampir seperti cowok itu tidak pernah pergi. Sejak kedatangan Z, aku bisa langsung tahu siapa yang penduduk asli Basalt hanya dari ekspresi dan cara mereka mengucapkan nama cowok itu. Ada daftar nama-nama keramat yang membuat remaja Basalt berekspresi aneh, dan Z adalah salah satunya. Cowok itu bukan dari sini, tapi kota sebelah, Pyxis. Namun, semua orang tahu alasan cowok itu pergi. Dia pernah memukuli orang.

Tidak ada yang tahu alasan cowok itu memukuli orang. Korbannya dibawa ke rumah sakit dalam kondisi berdarah-darah, koma, lalu bangun dua minggu kemudian. Saat ditanya, dia menolak untuk menjawab. Sejak saat itu, Z adalah villain-nya. Cowok itu dikeluarkan dari sekolah, berkeliaran dengan bebas untuk satu-dua bulan, lalu kabur ke luar negeri.

Z del Rosario hanya tinggal nama. Dia tidak eksis lagi. Sekali pun aku tidak pernah mendengar nama del Rosario sejak lima tahun yang lalu. Mereka keluarga yang besar di Pyxis, tapi Z mematikan nama mereka.

Setidaknya, itulah yang orang-orang katakan.

Aku adalah orang yang berhati-hati, dan aku tidak pernah berhenti memikirkan itu sejak Z pergi. Aku tahu diriku sendiri. Aku tahu kemampuanku menilai seseorang. Aku tahu Z. Z bukan orang baik, tapi cowok itu juga bukan penyuka kekerasan. Tidak sepertiku, dia besar di dalam mansion tertutup. Z tersenyum dan menatap mata pelayan saat mengucapkan terima kasih. Menyumpah dilarang di meja makannya. Cowok itu bahkan dilarang membungkuk.

Jika Z memukuli seseorang, maka cowok itu pasti punya alasan untuk melakukannya.

Satu minggu setelah beredarnya kabar itu, aku pergi ke By the Beach sebelum menyetir pulang ke rumahku di Pyxis. Saat aku merasa duniaku terlalu sempit, aku akan pergi ke laut dan menghabiskan sepanjang sore untuk memandang cakrawala yang tidak berujung. Laut yang paling dekat denganku adalah Samudera Hindia, dan dari By the Beach aku bisa melihat kalau masih ada banyak dunia di luar sana dari kota kecil ini. Aku merasa terhubung dengan kontinen-kontinen lain seperti Australia atau Afrika Selatan, dan rasanya mirip seperti ketika aku melompat dan berpikir aku telah meninggalkan bumi.

Sore itu sepi di By the Beach. Menghirup Americano-ku yang masih mengepul, aku melihat cowok-cowok yang biasanya bermain basket selama tahun ajaran kuliah mengobrol di tribun bawah, tapi tidak ada turis-turis yang memakai jersey basket palsu atau merekam lapangan basket dengan kamera ponsel. Musim panas sudah berakhir. Orang-orang kembali ke rumah mereka, tapi untuk sebagian, kembali ke rumah berarti pulang ke tempat mereka pernah menjadi hantu.

Z guilty pleasure-ku. Aku bisa memikirkannya sesuka hatiku, sesering mungkin, tapi aku tidak bisa memilikinya. Dia jenis cowok yang lebih baik saat aku berimajinasi tentang dia daripada sungguh-sungguh berbicara dengannya. Dia seperti bayangan yang mengintai di balik cermin. Mimpi yang memaksa keluar dan memakanku perlahan-lahan. Buah yang terlarang untuk dimakan. Dia seperti ketakutan-ketakutanku. Mimpi burukku. Fantasiku yang hidup.

Enam tahun saja tidak cukup untuk menghapus memori ketika bibirnya membuka di atas kulitku, membisikkan namaku, lalu mencintai setiap jengkal tubuhku.

Keberadaannya mencekikku. Kepergiannya membunuhku.

Tapi kabar kalau cowok itu telah kembali meniupkan napas baru di pembuluh darahku.

Mendadak aku kembali ke delapan tahun yang lalu. Ke hari pertama aku melihat Z di SMA. Cowok seperti itu bukan untuk dimiliki. Tubuhnya terdiri dari otot-otot di atas tulang yang ramping dan panjang. Matanya seperti jurang tanpa dasar. Saat Z tersenyum, saat itulah aku mulai penasaran seperti apa rasanya ciuman. Dia di mana-mana saat aku tidak menginginkannya, tapi tidak ada saat aku sangat ingin melihatnya.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang