Sepanjang makan malam, malam itu, Papa mengobservasiku seperti aku bisa menumbuhkan kepala baru sewaktu-waktu.
Aku mendesah ke dalam suapan pertama salad-ku.
Dia sudah membuat ekspresi itu sejak tadi siang. Sebisa mungkin aku menghindarinya hingga kami mau tak mau bertemu lagi ketika makan malam. Dia suka Z, tapi dia ternyata masih tidak suka melihat anak perempuannya dicium anak laki-laki lain, persetan anak laki-laki itu punya pukulan yang bisa membelah Mars menjadi dua. Padahal Z hanya mencium keningku. Gosh. Papa-Papa di dunia ini harus berhenti jadi dramatis.
Cuma Mama yang terlihat senang. Dia berhasil mempraktikkan resep salad mi Vietnam yang membuatku hampir gila belakangan karena restoran Vietnam terdekat hampir lima puluh menit jaraknya dari rumah ini. Aku agak jarang makan. Melihatku makan dengan lahap bisa memperbaiki mood-nya menjadi seratus kali lipat lebih baik.
"Enak?" tanyanya.
Aku mengangguk. Sausnya agak terlalu encer, tapi berbeda tidak selalu berarti buruk. Airnya mengurangi sedikit rasa manis yang menggangguku saat makan di restoran Vietnam itu.
Papa meletakkan peralatan makannya melintang di atas mangkuk, lantas berdeham. "Ma."
"Hmm?"
"Ma," Papa memanggil lagi, lebih memaksa.
"Kenapa, Pa?"
"Anakmu."
Gigi-gigiku gemertakan ketika itu sukses membuat Mama berpaling dari piringnya sendiri, lalu ikut-ikutan memberiku tatapan yang identik dengan Papa.
"Kenapa?" kata Mama.
Papa mengedikkan dagunya padaku.
"Pa," aku mengerang. Dia yang memulai percakapan ini, dia juga yang meninggalkannya padaku.
"Kenapa, Jul?" Mama terdengar betul-betul penasaran sekarang.
"Nggak apa-apa." Aku bergantian menatap Mama dan Papa. "Tadi, ehm, ada Z, di Clubhouse."
"Siapa Z?"
Papa mendengus sinis.
"Yang nganter aku pulang waktu itu," aku bergumam jengkel. Sejujurnya? Aku tidak ingin menjadi bagian dari percakapan ini.
"Ooh!" Mama menjentikkan jemarinya. "Iya, iya! Loh, ngapain dia main sama bapak-bapak? Kasihan! Dia anak temennya Papa?"
Sisa makan malam itu kuhabiskan dengan mendengarkan Mama dan Papa bergosip seperti cewek-cewek SMA. Papa memulai dari ciuman Z di keningku, dan aku praktis memberinya lirikan tajam di sudut mata, lalu melanjutkan dengan hal-hal yang lebih generik. Z anaknya Jose Villarreal, Z punya tato dan berbicara terlalu pelan, Z baru saja pulang dari San Francisco setelah lima tahun tinggal di estat del Rosario.
Papa baru memasuki bagian pukulan Z yang mengagumkan setelah dua puluh menit.
Cuma, Mama tidak tampak tertarik. Dia lebih tertarik mengamati raut wajahku yang berubah dari waktu ke waktu. Setiap beberapa saat, Mama akan meminta konfirmasiku, seperti, "Beneran?" Atau, "Kalian udah kenal dari zaman SMA?" Lalu, "Dia ganteng, Jul?"
Aku mendelik sebal. "Tanya Papa."
Di seberang meja, Papa melengos dengan raut merajuk.
Mama, sangat mengerti situasi bapak-anak ini, merangkul Papa, lalu mencium pipinya, genit. "Biasa, Jul." Mama mengerling. "Bapak-bapak memang gini. Bawaannya ilfeel ngelihat anak-anak cowok."
Meski aku juga, dalam tanda kutip merah besar, ilfeel, terhadap reaksi berlebihan Papa, ini bukan pertama kalinya dia bersikap kekanakan seperti itu. Reaksinya saat melihat mantan pacarku tidak lebih baik, malah lebih parah. Sudah bagus Papa terkesan melihat pukulan sensasional Z. Mantan pacarku bahkan tidak bisa memegang raket dengan benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
Roman d'amourJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...