"Somewhere weakness is our strength, and I'll die searching for it. I can't let myself regret such selfishness." (Paramore)
—
Sudah tiga hari Papa tidak mengajakku bicara, jadi sudah tiga hari juga aku tetap berangkat ke kafe sambil berpura-pura aku masih akan terus bekerja di sana. Aku mulai menyapa onggokan karung berisi biji kopi setiap kali aku masuk ke ruang penyimpanan, aku juga mulai menghidu cairan pekat espresso yang dituangkan mesin ke dalam cangkir seperti aku tidak mencium baunya melintas setiap hari. Bunga-bunga yang kusiram saat sif sore entah kenapa terlihat lebih cantik, kelopaknya yang berwarna merah muda keunguan menerbangkan ingatanku pada hari aku mendengar kepulangan Z, saat aku membereskan cangkir kotor setelah menyiram kebun, lalu menjatuhkan cangkir itu di depan pintu masuk.
Mungkin aku memang mencintai pekerjaan ini lebih daripada yang pernah kuakui.
Percaya atau tidak, aku pernah tidak menginginkannya, tapi aku berkeras menunda hukumanku setelah lulus dari fakultas Hukum: melamar di kantor lantas memanjat untuk mendapatkan posisi tertinggi, atau mengambil program master dan bertransformasi menjadi advokat sekalian. Aku ingin mengganjar tidur-tidur yang kutinggalkan demi sebait gelar. Aku ingin mencentang seluruh to-do list yang harus kulupakan karena tugas-tugas yang menumpuk dan kewajibanku berinteraksi dengan orang-orang di universitas.
Kebetulan, di bagian teratas to-do list-ku tertulis belajar bikin latté art. Pekerjaan ini kudapatkan setelah mengikuti kursus kilat, ditawarkan langsung oleh mentorku, dan aku sudah pandai melakukannya sebelum aku sadar kalau aku menyukainya.
Richie melongo saat kusodorkan dia ube latté yang baru kuselesaikan. "Tumben niat bikin art-nya?" dia mencetus, lalu mengamati gambar pakis di atas minuman ungu itu alih-alih mengantarkannya ke meja. "Keren," katanya, berkedip. "Keren, keren."
"Belum kugambarin naga," aku membalas ngawur. "Balerion."
"Bisa?" Mata Richie melebar sesaat.
Aku menyeringai buas. "Anterin dulu minumannya!"
Nyengir, Richie langsung memelesat untuk mengantarkan ube latté itu kepada pemiliknya.
Seringai menarik ujung bibirku. Anak baru itu agak terlalu menyukai kopi, garisbawahi kata terlalu. Cita-cita Richie adalah mengganti French press bobrok di indekosnya dengan mesin espresso sungguhan dan menggambar Goku di atas buih-buih susu. Saat masih baru, Richie sering memandangiku ketika bekerja, lebih-lebih ketika aku sedang menuang microfoam. Dia lebih baik saat menangani kopi ketimbang Keke, kupikir dia bisa menggantikanku jika aku sungguhan keluar untuk bekerja di tempat teman Papa.
Dan karena Papa masih belum mau bicara, aku tidak tahu posisi apa yang ditawarkan padaku. Aku hanya memikirkan kemungkinan terburuk. Setelah gagal mendidikku menjadi atlet karena Papa ternyata bukan coach yang baik, Papa suka membayangkan aku sebagai wanita karir. Pimpinan cabang di bank, misalnya, atau kepala gudang seperti dirinya semasa muda. Saat aku diterima di fakultas Hukum, dia juga pernah membayangkan aku sebagai jaksa atau pengacara yang sukses, tapi kupecahkan gelembungnya karena aku tidak ingin mencari musuh. I have no enemies, itu prinsipku.
Dari meja si pemilik ube latté, Richie tersenyum kepada pelanggan yang baru saja menjejakkan kakinya di kafe. Rambut cewek itu berwarna merah dari akar sampai pertengahan, lalu gradasi pirang menuju pink di ujung-ujungnya. Kulitnya yang keemasan berkilau, hampir-hampir seperti tan musim panas permanen. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang minum kopi, lebih ke undangan tetap ladies night di martini bar, dan kepingan-kepingan itu mulai menyatu saat aku mengenali wajah di balik make up mahal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...