xxiii. tongue tied

1.7K 190 181
                                    

Pagi itu udaranya hangat di Basalt. Langit biru dan anginnya tidak terlalu keras. Z dan aku menyewa lapangan tenis di Clubhouse untuk satu jam. Z tidak mau menunjukkan pukulan tangan kirinya yang membuat cowok itu harus berhenti bermain secara kompetitif, tapi aku meyakinkan Z kalau aku tidak akan mengembalikan pukulan itu. Yang agak bohong, sih, sebenarnya. Bola datang dalam kecepatan yang tidak pernah kulihat dari siapapun, dan pergelangan tanganku agak bengkok saat raketku mengayun seperti ingin membelah bola itu menjadi dua. Tapi aku mengembalikannya dengan baik-baik saja.

"Lawanmu yang cupu!" teriakku, dan itu menandai berakhirnya pagi kami di Clubhouse.

Kami berbaring di folly, berkeringat dengan pipi yang merah-merah. Z membuka kemejanya sampai ke perut, menunjukkan tato mawar dan matahari yang terbenam di bawah taburan kelopaknya. Tato Z indah, dan itu membuat dadaku sakit aku harus mengaitkannya dengan seseorang yang sudah melecehkan cowok itu, lalu membuat kami seperti kami hari ini.

"Aku nggak inget apa-apa soal hari itu," kata Z. "Aku inget dateng sama temen-temenku, tapi sisanya kabur. Kayaknya aku inget masuk ke kamar, tapi aku nggak tahu mau ngapain. Kadang-kadang, kalau kamu masuk ke lift, ada cermin di atas kepalamu—cermin yang agak buram. Rasanya kayak terus-terusan ngelihat ke cermin itu."

Aku berguling menyamping, lalu duduk di atas perut Z. Mata Z yang redup menatapku dari balik bulu matanya. Z melepaskan ban tangannya, lalu memegangi pahaku.

"Don't cowgirl me here."

"Ih, Z!" aku tertawa. "Jorok. Aku mau duduk aja, capek tiduran."

"Kecewa," kata Z.

Tangan Z berpindah, sekarang memegangi tanganku.

"Do you remember our first kiss?"

Selamanya. Selalu. "Kamu bilang aku cantik," ucapku.

Tawa Z keluar dengan agak putus-putus karena aku duduk di perutnya. "Tapi kamu memang cantik, Juliette. Aku suka nabrak kalau jalan sambil lihat kamu."

"No one told me that," kataku.

"Temen-temenku tahu." Z menyatukan kedua telapak tanganku di dalam satu genggaman. "Mereka suka gangguin aku, soalnya kata mereka aku nggak tahu apa-apa. Kalau kamu ngelihat aku aneh-aneh di sekolah, itu mereka yang nyuruh."

"Contohnya?"

"Minta nomormu."

"Yang itu aku tahu." Mereka melakukannya di belakang punggungku. Secara harfiah. Saat kami mengantre di kafetaria. Cowok-cowok nakal. Mereka juga menyuruh Z memegang pantatku, tapi Z terlalu baik untuk melewati batas.

"Terus mereka nyuruh aku ngajak kamu jalan."

"Kamu nggak pernah ngajak aku jalan," sergahku.

"Maunya aku ngajak kamu jalan." Z berhenti. "Tapi kayaknya kamu kedinginan."

Aku tersenyum manis. "Terus kamu ngajak aku pulang ke rumahmu deh."

Z mengambil beberapa helai rambutku. "Masih nyesel?"

"Aku nggak pernah nyesel, Z." Aku menyesal telah membuat Z berpikir aku menyesal melakukan itu bersamanya. Aku ingin Z tahu kalau aku memikirkannya setiap saat. Setiap kali menatap cermin dan berpikir aku terlihat cantik, aku bertanya-tanya apakah ini yang Z lihat saat cowok itu menciumku. "Maaf aku bikin kamu mikir gitu, aku takut kamu merasa aku ketergantungan sama kamu, terus akhirnya kamu yang nggak nyaman."

"Itu yang aku mau."

Z bangkit.

Kini aku duduk di pangkuannya.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang